Senin, 26 Desember 2011

Oncoy-Oncoyku....


By : Khoiriyyah Azzahro



Mataku terjaga kala terdengar keributan di sisi kanan rumah. Hhm.. ini sudah jam berapa? Kukucek mata dan Kuggeliatkan badan. Kedua kaki lemahku perlahan menjejak di lantai.
“Sabar, pang! Nang halus mana1)? Na.. ini buat nang halus. Ucin pang mana? Acan mana?” suara mama terdengar lantang setelah pintu kamarku terbuka.
Langkahku terpacu menuju arah keributan. Setibanya di sana, Aku pun tergelak “Ha ha ha!”
Tangan Si Acan (aslinya Hasan Basri) menggapai-gapai mangkuk kecil di tangan mama. Di sisinya, Si Ucin (resminya Husin Naparin) memelas memandang mama. Sementara Ican (selengkapnya Nur Ihsan) lahap menyantap nasi ikan. Kaki depannya menjejak piring hingga benda  itu terjungkit ke belakang. “Ha ha...” gelakku menjadi. Tak peduli bahwa Aku belum menggosok gigi. Hi hi..
Kudekati ketiga makhluk berbulu di depan mama tersebut. Kujawil sedikit hidung Acan. Ia balas meraih tanganku. Ups! Hampir saja tanganku kena cakarnya. Acan pun berkata “Meeeooong..
Inilah pemandangan yang tiap hari kusaksikan di rumah. Aku menyebutnya ‘pembagian jatah BLT bagi para per-oncoyan’. Wah.. ‘peroncoyan’? Apaan tuh?

Oncoy dan Silsilahnya
Istilah ‘peroncoyan’ mulai ada ketika makhluk berbulu, berkaki empat, berkumis, bersuara ‘meoong’ (atau ‘miaauw’) dan menyukai ikan, hadir di rumah keluargaku saat masih di Balikpapan. Kala itu, adikku –Arul- berumur dua belas tahun. Sebagai anak bungsu, Arul kerap kesepian. Ia lalu menjadikan kucing belang kelabu yang berkunjung ke rumah sebagai teman bermain dan memberinya nama ‘Oncoy’.
Tahun berganti. Keluarga kami pun kembali ke kampung di Kota Banjarmasin. Namun istilah tersebut masih melekat dalam hati dan fikiran kami semua. Setiap melihat kucing yang berkeliaran di sekitar rumah, keluargaku, terutama Arul akan menyapanya “Hey, Oncoy!!”
Dua tahun lalu, Si Kuning, kucing tetangga samping gedung Taman Kanak-Kanak, melahirkan dua anaknya di rumah keluargaku. Masih kuingat kala Si Kuning mondar-mandir ingin ditemani olehku saat melahirkan. Sayang, Aku tak bisa melakukannya karena Ia ingin melahirkan pada plafon rumah yang sempit, yang tak mungkin memuat tubuhku.
Beberapa hari kemudian, Si Kuning membawa turun dan memasukkan kedua anaknya ke dalam kardus besar bekas mesin pendingin makanan. Kardus tersebut terasa gaduh karena kedua anak kucing tersebut sudah mulai lincah bergerak. Bahkan Aku dapat melihat jelas keduanya yang masih lemah dan kecil. Maka tak ada yang membantah saat kedua anak Si Kuning kuberi nama Hazdarun dan Yellow. Hadzarun (bahasa Arab) dan Yellow (bahasa Inggris) memiliki arti yang sama, yaitu ‘kuning’. Ya! Kuning! Ini karena keduanya memiliki warna kuning kecoklatan. Hadzarun kini lebih populer dengan nama panggilan ‘Jayyun’ dan Yellow lebih ngetop dengan panggilan ‘Yềyeu’.
Juni 2008, senja baru pergi berganti gelap. Aku bersiap pada sadel motorku untuk memberi les privat Bahasa Inggris pada beberapa murid SD dan SLTP. Tiba-tiba motor Abah memasuki pekarangan. Pada sadel belakang Mama berseru “Ieya! Lihat, kayaknya tadi ada kucing kecil tuh!”
Kucing kecil? Di senja redup begini?
Aku beranjak dari sadel dan mencari sosok yang dimaksud. Benar! Seekor kucing kecil berbulu putih belang hitam hilir mudik tak tentu. Kuraih Ia perlahan dan kuserahkan pada mama. Ternyata Abah menyukainya. “Ini jenis kucing cerdas dan menarik waktu Abah kecil dahulu, lho!” ujar Abah.
Oo.. gitu ya? Aku tak tahu hal itu. Kucing kecil itu kunamai Blester karena tubuhnya yang sedikit berbelang. Dikemudian hari, namanya menjadi Blester Oncoy Ndang Ndut (duuh panjang nian!). ‘Blester’ karena berbelang, ‘Oncoy’ adalah istilah perkucingan, ‘Ndang’ atau ‘Dadang’ jadi panggilan sayang mama (juga mama gunakan pada anak-anak kandungnya), dan ‘Ndut” karena Ia gendut besar.
Waktu berlalu, Jayyun dan Yellow semakin dewasa. Jayyun mulai pintar mencari mangsa dan Yellow mulai genit di depan kucing-kucing jantan milik tetangga.
“Yềyeu mau kawin tuh! Yeyeu pacaran tuh!” ledek kami bila melihat Si Yellow berduaan di teras dengan kucingnya Acil Sahay, tetangga kiri rumahku. Atau bila Ia jalan-jalan dengan kucingnya Arif, tetangga depan rumahku. “Yềyeu genit! Yềyeu genit” ujar Arul. Dan... terdengarlah kembali meong kecil dari atas plafon. Entah berapa ekor anak kucing yang lahir dari rahim Si Yềyeu.

Arul Nyungsep
“Yề, Dede-nya mana Yề? Turunin Dede-nya, Yề!” ucapku pada Yềyeu.
“Meoong..!!” jawab Yềyeu. Duuh... hatiku ketar ketir memikirkannya. Hampir dua minggu, tapi baru dua ekor yang diturunkan oleh Yềyeu. Pasti masih ada seekor atau dua ekor lagi di atas plafon.
Rasa gemas membuat Arul bertindak. Adik lelakiku satu-satunya itu menaiki tangga menuju plafon. “Pelan-pelan, Rul!” ucap mama.
Satu anak kucing berhasil diselamatkan. Lesu dan kurus tubuhnya. Saat Arul menyerahkannya pada mama, kulihat tetes air terjatuh dari sudut mata mama. Arul kembali ke loteng mengambil seekor  yang tersisa dan letaknya cukup jauh. Tepatnya di plafon ruang tamu yang hanya terbuat dari triplek.
Sementara Aku menanti di dekat tangga tempat Arul berpijak, terdengar teriakan dari ruang depan, “Toloooonggg! Mamaaa!! Tolooongggg!! Ieyaaa!!!”
Panik kuberlari ke arah depan. Ya, Tuhan! Arul sedang bergelantungan pada plafon dengan kaki menjuntai ke bawah. Tubuhnya berdebu. Kujauhkan meja kaca di bawahnya lalu berlari mencari sofa empuk dan meja panjang. Kuletakkan benda-benda tersebut di lantai agar Arul dapat menjatuhkan diri dengan aman. Namun Arul masih merasa gamang padahal kedua tangannya sudah lemah dan payah bergelantungan pada plafon.
“Ayo, Rul! Pelan-pelan ja!” bujukku.
Brukkk!!
Hatiku meringis melihat tubuh Arul jatuh terlentang dengan posisi kaki di atas meja sementara kepalanya hampir membentur lantai. Celana pendeknya sobek dan t-shirt-nya penuh debu. Namun sang anak kucing tetap tertinggal di plafon. Ia berteriak makin keras “Meeoonggg!!!”
Ah.. gara-gara mau nolongin si Oncoy, malah jadi teriak ‘Tolooong!’

Oncoy Berenang
Pagi cerah, Aku baru menyelesaikan ‘acara’ cuci piring dan bersiap menjemur pakaian. Tiba-tiba..
Byuur!!
Terdengar bunyi benda berat terjatuh ke dalam kolam. Setengah berlari kutengok ke arah suara. Dan... “Ha ha ha...!!  Ha ha ha...!! ” tawaku langsung meledak.
Di kolam, kaki belakang Dadang mengepak di permukaan air sementara kedua kaki depannya mencengkram bambu tipis yang terbentang di depan kolam.
Sementara para ‘oncoy’ lainnya menyaksikan... Sret! Dengan cepat Dadang melompat ke potongan kayu ulin di depannya. Lalu berlari ke teras sambil berseru “Meeeooonggg!!”
Acan menatap sendu ketika Dadang mengibaskan bulunya yang basah. Begitu juga para ‘oncoy’ lainnya. Mungkinkah mereka teringat nasib mereka dahulu yang hampir sama dengan Dadang pagi itu?
Hmm.. hampir semua ‘oncoy’ di rumahku pernah merasakan jatuh kuyup atau berkubang lumpur di kolam yang bentuknya sudah tak keruan itu. Pernah suatu hari terdengar teriakan seekor kucing dari bawah berumahan2). Aku dan mama tungging-menungging menatap ke bawah berumahan dari celah lantai kayu. Tubuh dan kepalaku pegal rasanya. Tapi tak jua ditemukan asal suara.
Aku mengambil senter di ruang tivi. Lalu menyoroti ujung demi ujung berumahan dengan sinarnya. “Uuy.. siapa di sana? Oncoy siapa di sana?” tanyaku.
Meooong...”  jawabnya.
Seluruh berumahan telah kusorot, tapi tiada satu oncoy pun ditemukan. Satu persatu para ‘oncoy’ yang lain berdatangan. Yellow, Jayyun, Dadang, Acan, eh... Ucin...!
Lho? Bukankah hanya seekor di bawah sana? Acan atau.. Ucin. Jadi, ada di dekatku ini siapa ya?
Aku dekati kucing kuning kecoklatan di dekatku. Ia mengais-ngais lantai yang bersih di bawahnya sambil terus mengeong. Entah mengapa Aku tertarik memperhatikan gerak tangannya. Dan.... hey!
“Ma! Lihat! “ seruku sambil menunjuk bawah berumahan. Seekor ‘oncoy’ tampak berpagut pada tiang yang menyilang. Tubuhnya sebagian tampak kuyup.
Ternyata, kucing kembar juga memiliki perasaan yang sama seperti manusia kembar. Mampu merasakan seperti yang dialami oleh kembarannya. Terbukti Ucin-lah yang terlebih dahulu menemukan Acan. Padahal Aku dan Mama lebih dulu mendengar suaranya, mencarinya kesana kemari, namun tak jua menemukannya.
Demi menolong Acan, kami membuka paksa lantai dari kayu ulin. Dengan linggis dan palu, kucongkel keras papan tersebut. Setelah papan terangkat kurebahkan tubuh lebih rendah agar dapat menggapai Acan di bawah sana.
Ah... Ternyata tak semudah yang dibayangkan. Cengkraman Acan terlalu kuat pada tiang rumah. Meski peganganku telah erat dan tarikanku amat kuat, tubuh Acan yang telah kuyup tak jua terlepas dari tiang. Padahal badanku makin pegal dan linu karena terus menungging. Tanganku kotor oleh lumut kayu dan tergores paku bahkan beberapa kesuban3). Dan Acan masih lantang bersuara “Meeeooonggg!”
“Sudah! Cuekin aja, Ya! Ntar dia keluar sendiri tu” ujar mama. Akhirnya Aku mengganti posisi tubuhku. Dasar Oncoy! Mau ditolongin malah gak mau! Gerutuku makin panjang di dalam hati sambil melenggang mengambil gelas kopiku.
Setelah menenggak segelas kopi, Aku kembali menengok ke berumahan. Hey! Kemana Si Acan?
Meooongg!” suara itu makin dekat terdengar. “Acan...” panggilku sambil menengok ke sisi kolam. Nah! Itu dia! Ternyata Acan berhasil meniti bentangan kayu di berumahan. Kini Ia telah bertengger pada bentangan kayu di dekat kolam. Aha!! Kali ini Aku pasti dapat meraihnya.
Hup! Kugenggam erat tubuhnya. Lalu... Sret!! Kutarik dengan cepat dan kuat tubuhnya hingga genggamannya terlepas. Aku segera memanggil Mama “Mama...!!”
“Hiii... Acan kotor. Hiiiyy!!” seru mama. Dan Aku meringis menatap darah segar yang mengucur dari tanganku karena terkena cakar Acan dan bentangan kayu yang penuh paku, lumut serta debu.
“Huu... sekalian aja kita jadi tim SAR, Ma!” ujarku.
“Ho oh! Ikut pasukan penyelamat kucing, Ya!” timpal mama.
Ya, benar! Seandainya ada pasukan penyelamat kucing, pasti Aku menjadi anggota tim tersebut. Karena ternyata keesokan harinya, lusa, lima hari kemudian, seminggu kemudian, berbulan kemudian, satu persatu para ‘oncoy’ di rumahku akhirnya merasakan petualangan menegangkan saat terjatuh di berumahan atau kolam. Sementara Aku dan Mama makin cerdas dan tangkas saat menolong mereka.

Yang Telah Tiada
Tak kan kulupa dua kematian di awal bulan Oktober ini. Kematian pertama adalah julak-ku yang mendadak harus di rawat di rumah sakit karena komplikasi. Dan kematian kedua adalah Si Putih, anak Yềyeu paling kecil.
Senja itu, Aku baru pulang dari tempat kerja. Setelah mandi dan sholat, Aku duduk di sofa ruang tivi. Mengapa begitu sepi? Para Oncoy pada kemana? Kucari di dapur, di kamar Arul, di gudang, di teras, tak ada sesiapa. Hanya Mama yang sedang memasak di dapur. Nah.. ada bulu putih halus tergelak di lantai dapur yang dingin.
Oh.. Si Putih! Kuraih dan kupeluk Si Putih yang gemuk lucu. Bulunya begitu halus. Berbeda dengan kedua kakaknya, Acan dan Ucin. Tapi... mengapa Ia lintap lintup4)? Kepala Si Putih lunglai. Matanya berkedip lemah padaku. Tangannya mencengkram kecil bajuku.
“Ma! Si Putih kok gini?”
“Kenapa?” tanya mama.
“Kayaknya dia sakit deh, Ma! Panas dingin badannya!”
“Ya sudah.. malam ini Si Putih kita kasih obat” ujarku mama.
Seluruh ‘oncoy’ sudah pernah mengalami sakit. Dan setiap sakit, para ‘oncoy’ tersebut akan diberi obat minum. Tak pernah kami membawa para ‘oncoy’ ke dokter hewan, karena selain sangat sulit mencari dokter hewan di kota Banjarmasin, juga karena kami tak punya cukup uang untuk itu.
Si Putih kurebahkan di kasurku. Kemudian Aku segera berkutat dengan artikelku yang belum rampung. Tiba-tiba Arul memasuki kamarku dengan alasan ingin memasang screen monitor laptop.
Aktivitas mengetikku pun terhenti sementara waktu, karena Aku dan Arul larut dengan seribu satu strategi teknik memasang screen monitor laptop. Tapi, dasar jadul! Hingga tangan loyo, plastik screen tak jua berhasil terpasang. Putus asa, Arul dan Aku memutuskan untuk membeli kembali plastik screen yang baru dan menyerahkan prosesnya pada ahlinya kelak.
Ah.. otakku jadi mumet! Refleks kutengok ke atas kasur. Hey! Kenapa Si Putih tidurnya seperti itu? Mulutnya sedikit terbuka, tangan dan kakinya kaku ke depan, lalu..... Astaghfirullah....
“Mama! Si Putih mati!” teriakku sejadinya.
“Belum, Ya! Belum!” mama ikut berteriak tak keruan.
“Nih, Si Putih-nya sudah kaku! Gak bernafas, Ma...” parau suaraku menahan desiran yang entah mengapa hadir tiba-tiba di dadaku. Lalu kurasakan ada air membendung di sudut mataku.
Malam itu.. Aku, Mama dan Arul menguburkan jasad Si Putih yang terbujur kaku di tanah yang lembab sisa hujan siang hari. Berdekatan dengan kubur dua kakaknya terdahulu. Acan, Ucin dan Ican menatapi ulah kami dari dekat. Ingatanku tak lepas pada ulah Si Putih yang akhir-akhir ini tampak tak biasa. Selalu Ia mengalah bila sedang bermain ‘Smack Down’ dengan Ican. Tubuhnya kadang tampak lemah tak bersemangat. Mungkin juga karena beberapa hari sebelumnya Ia sempat kehujanan..
Kini kucing kecil berbulu putih kekuningan lembut nan cantik itu telah tiada. Tuhan rupanya amat mencintainya dan ingin segera mendekatkan Si Putih di sisiNya. Semoga kelak di akhirat, kami dapat  berjumpa lagi dengan Si Putih. Karena kami amat menyayanginya.

Ucin Hilang
Saat masih kecil, Ucin pernah hilang selama tiga hari. Kala itu mama selalu memanggilnya lebih lantang dari biasanya bila waktu makan tiba, “Ucin.. bulik5)! Makan!”
Aku pun ikut bertanya pada Acan, “Si Ucin, mana, Can? Cari Ucin,Can!” Bahkan, kata mama, Aku sampai mengigau memanggil Ucin dalam tidur “Ucin mana ya? Ucin mana?”
Wah! Sampai segitunya. He he.. Soalnya, saat itu hanya Si Ucin kucing yang paling tenang dan senang tidur bersamaku di kasur.
Entah kemana Ucin menghilang. Sejak Kamis sore, tak tampak batang moncongnya. Hingga
Minggu senja, kala kami sedang siap bersantap malam, tiba-tiba terdengar suara dari pintu kanan rumah.
Meooonggg!”
Mama segera membuka pintu samping, dan...  “Ieya! Ucin pulang, ni!”
Kutinggalkan piring makanku dan segera menuju sisi kanan rumah. “Uciiiiiiinnn!!!” teriakku.
Tapi, saat melihat tubuh Ucin yang tampak kuyu dan kurus serta gaya makannya yang ‘kesetanan’, hatiku terasa sedih. Duuuh... Ucin. Kemana saja dikau selama ini? Andai Ia bisa bercerita. Dan andai kufahami bahasa per‘oncoy’an... “Meoonggg......”

Mendapat Surga
Banyak hal yang menyebabkan seisi rumahku mencintai para ‘oncoy’ alias kucing-kucing yang kerap bikin pusing dan tragedi itu. Dari rasa cinta hingga kepercayaan yang entah berasal dari mana.
Mama mempercayai bahwa dengan memelihara dan mencintai kucing-kucing akan memperoleh keberuntungan dan surga di akhirat kelak. Sementara Abah meyakini kucing-kucing adalah hewan kecintaan para Nabi. Dan Arul menyukai kucing seperti Ia menyukai boneka, bahkan pacarnya (ha ha...).
Aku sendiri menyukai hewan bernama kucing itu karena selain lucu dan menggemaskan, juga karena kenangan indah selama praktek Kuliah Kerja Nyata hampir sembilan tahun lalu. Saat itu Aku mengenal seekor kucing lugu yang selalu menemaniku kemana pun, dimana pun, baik di saat sedih, sepi dan gembira. Kucing kurus yang kuberinama Siti Fatimah itu berasal dari Desa Ngayau yang masih minim pembangunan dan pemberdayaan.
Ah... apapun itu, Aku selalu berdo’a untuk mereka, para ‘Oncoy’-ku, selayaknya Aku berdo’a untuk hidupku dan orang-orang yang kukasihi. Semoga Tuhan berikan keselamatan, kesehatan, kemakmuran, kebahagiaan bagi para ‘oncoy’ yang pernah kukenal dan kusayangi.
 Tentu masih banyak kisah-kisahku bersama para Oncoy di rumahku. Dan setiap saat kisah-kisah tersebut akan bertambah dan bertambah. Eh, apakah kalian, para pembaca ingin berkenalan dengan Si Dadang yang sok tapi tukang ngambek, Jayyun yang gagah perkasa, atau dengan Yeyeu yang paling cantik, juga Acan dan Ucin, juga Ican yang senang berlarian dan menangkap cicak, kadal, kodok, hingga kecoa? Datang saja ke rumah kami. Aku dan keluargaku pasti akan senang. Syaratnya, perlakukan mereka dengan manis ya.... Sampai jumpa..!!
-Selesai-

Keterangan
1)       Sabar, pang! Nang halus mana : sabar, dong! Yang kecil mana?
2)       Berumahan : tanah di bawah rumah. Tak seperti di kota-kota besar seperti Jakarta atau Balikpapan yang berbahan baku beton atau semen, rumah-rumah di Banjarmasin kebanyakan dibuat dari kayu ulin (kayu besi) dan menyerupai rumah panggung. Sehingga terkadang ada ruang hampa di antara lantai dasar dan tanah di bawahnya. Inilah yang disebut berumahan
3)       Kesuban : kemasukan benda kecil serupa serpih kayu pada kulit tubuh bahkan masuk hingga daging tubuh. Kondisi ini dapat berakibat infeksi dan pendarahan, bahkan bila dibiarkan dapat mengakibatkan sakit yang lebih serius an berbahaya.
4)       Lintap lintup : kondisi lemas, lunglai, tanpa tenaga
5)       Bulik : pulang

Nur Ican


Nur Ican guying payak res cucer
Kegemaran dan rutinitas yang tak pernah ditinggalkan





malam tadi ican guring di atas sajadahkoe.. hehehe...

Minggu, 25 Desember 2011

Kisah Kucing Kesayangan Nabi SAW, dan Keistimewaan Kucing Dalam Islam


 Hey.. pembaca semua, pada tahu gak? Di dalam perkembangan peradaban islam, kucing hadir sebagai teman sejati dalam setiap nafas dan gerak geliat perkembangan islam.
Diceritakan dalam suatu kisah, Nabi Muhammad SAW memiliki seekor kucing yang diberi nama Mueeza. Suatu saat, dikala nabi hendak mengambil jubahnya, di temuinya Mueeza sedang terlelap tidur dengan santai diatas jubahnya. Tak ingin mengganggu hewan kesayangannya itu, nabi pun memotong belahan lengan yang ditiduri Mueeza dari jubahnya. Ketika Nabi kembali ke rumah, Muezza terbangun dan merunduk sujud kepada majikannya. Sebagai balasan, nabi menyatakan kasih sayangnya dengan mengelus lembut ke badan mungil kucing itu sebanyak 3 kali.
Dalam aktivitas lain, setiap kali Nabi menerima tamu di rumahnya, nabi selalu menggendong mueeza dan di taruh dipahanya. Salah satu sifat Mueeza yang nabi sukai ialah ia selalu mengeong ketika mendengar azan, dan seolah-olah suaranya terdengar seperti mengikuti lantunan suara adzan.
Kepada para sahabatnya, nabi berpesan untuk menyayangi kucing peliharaan, layaknya menyanyangi keluarga sendiri.
Hukuman bagi mereka yang menyakiti hewan lucu ini sangatlah serius, dalam sebuah hadist shahih Al Bukhori, dikisahkan tentang seorang wanita yang tidak pernah memberi makan kucingnya, dan tidak pula melepas kucingnya untuk mencari makan sendiri, Nabi SAW pun menjelaskan bahwa hukuman bagi wanita ini adalah siksa neraka.
Tak hanya nabi, istri nabi sendiri, Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq pun amat menyukai kucing, dan merasa amat kehilangan dikala ditinggal pergi oleh si kucing. Seorang sahabat yang juga ahli hadist, Abdurrahman bin Sakhr Al Azdi diberi julukan Abu Hurairah (bapak para kucing jantan), karena kegemarannya dalam merawat dan memelihara berbagai kucing jantan dirumahnya.

Penghormatan para tokoh islam terhadap kucing pasca wafatnya Nabi SAW.
Dalam buku yang berjudul Cats of Cairo, pada masa dinasti mamluk, baybars al zahir, seorang sultan yang juga pahlawan garis depan dalam perang salib sengaja membangun taman-taman khusus bagi kucing dan menyediakan berbagai jenis makanan didalamnya. Tradisi ini telah menjadi adat istiadat di berbagai kota-kota besar negara islam. Hingga saat ini, mulai dari damaskus, istanbul hingga kairo, masih bisa kita jumpai kucing-kucing yang berkeliaran di pojok-pojok masjid tua dengan berbagai macam makanan yang disediakan oleh penduduk setempat

Pengaruh Kucing dalam Seni Islam.
Pada abad 13, sebagai manifestasi penghargaan masyarakat islam, rupa kucing dijadikan sebagai ukiran cincin para khalifah, termasuk porselen, patung hingga mata uang. Bahkan di dunia sastra, para penyair tak ragu untuk membuat syair bagi kucing peliharaannya yang telah berjasa melindungi buku-buku mereka dari gigitan tikus dan serangga lainnya.

Kucing yang memberi inspirasi bagi para sufi.
Seorang Sufi ternama bernama ibnu bashad yang hidup pada abad ke sepuluh bercerita, suatu saat ia dan sahabat-sahabatnya sedang duduk santai melepas lelah di atas atap masjid kota kairo sambil menikmati makan malam. Ketika seekor kucing melewatinya, Ibnu Bashad memberi sepotong daging kepada kucing itu, namun tak lama kemudian kucing itu balik lagi, setelah memberinya potongan yang ke dua, diam-diam Ibnu Bashad mengikuti kearah kucing itu pergi, hingga akhirnya ia sampai disebuah atap rumah kumuh, dan didapatinya si kucing tadi sedang menyodorkan sepotong daging yang diberikan Ibnu Bashad kepada kucing lain yang buta kedua matanya. Peristiwa ini sangat menyentuh hatinya hingga ia menjadi seorang sufi sampai ajal menjemputnya pada tahun 1067.
Selain itu, kaum sufi juga percaya, bahwa dengkuran nafas kucing memiliki irama yang sama dengan dzikir kalimah Allah.
Cerita yang dijadikan sebagai sauri tauladan
Salah satu cerita yang cukup mahsyur yaitu tentang seekor kucing peliharaan yang dipercaya oleh seorang pria, untuk menjaga anaknya yang masih bayi dikala ia pergi selama beberapa saat. Bagaikan prajurit yang mengawal tuannya, kucing itu tak hentinya berjaga di sekitar sang bayi. Tak lama kemudian melintaslah ular berbisa yang sangat berbahaya di dekat si bayi mungil tersebut. Kucing itu dengan sigapnya menyerang ular itu hingga mati dengan darah yang berceceran.
Sorenya ketika si pria pulang, ia kaget melihat begitu banyak darah di kasur bayinya. Prasangkanya berbisik, si kucing telah membunuh anak kesayangannya! Tak ayal lagi, ia mengambil pisau dan memenggal leher kucing yang tak berdosa itu.
Tak lama kemudian, ia kaget begitu melihat anaknya terbangun, dengan bangkai ular yang telah tercabik di belakang punggung anaknya. melihat itu, si pria menangis dan menyesali perbuatannya setelah menyadari bahwa ia telah mebunuh kucing peliharaannya yang telah bertaruh nyawa menjaga keselamatan anaknya. Kisah ini menjadi refleksi bagi masyarakat islam di timur tengah untuk tidak berburuk sangka kepada siapapun.
Hukum membunuh kucing
Tahukah Sob, Nabi Muhammad saw juga membela kucing?
Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang wanita disiksa karena mengurung seekor kucing sampai mati. Kemudian wanita itu masuk neraka karenanya, yaitu karena ketika mengurungnya ia tidak memberinya makan dan tidak pula memberinya minum sebagaimana ia tidak juga melepasnya mencari makan dari serangga-serangga tanah. (Shahih Muslim No.4160)
dan Dalam syariat Islam, seorang muslim diperintahkan untuk tidak menyakiti atau bahkan membunuh kucing, berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari kisah Abdullah bin Umar[1] dan Abu Hurairah.[2]
Adakah manfaat kucing bagi dunia ilmu pengetahuan?
Salah satu kitab terkenal yang ditulis oleh cendikia muslim tempo dulu adalah kitab hayat al hayaawan yang telah menjadi inspirasi bagi perkembangan dunia zoologi saat ini. Salah satu isinya mengenai ilmu medis, banyak para dokter muslim tempo dulu yang menjadikan kucing sebagai terapi medis untuk penyembuhan tulang, melalui dengkuran suaranya yang setara dengan gelombang sebesar 50 hertz. Dengkuran tersebut menjadi frekuensi optimal dalam menstimulasi pemulihan tulang.
Tak hanya ilmu pengetahuan, bangsa barat juga banyak membawa berbagai jenis kucing dari timur tengah, hingga akhirnya kepunahan kucing akibat mitos alat sihir di barat dapat terselamatkan.

Kucing “Muqawwamah”: Kucing Palestina yang Dipenjara di Sel Khusus Israel
Jika boleh iri, kaum muslimin mungkin harus iri kepada kucing Palestina. Pasalnya, di tengah ketidakmampuan kita ikut membela saudara-saudara kita di Palestina yang kini sedang berjuang mempertahankan Masjidil Aqsha dari ancaman israel, justru seekor kucing tampil sebagai pahlawan. Kucing itu dinilai zionis-israel dapat membangkitkan perlawanan (muqawwamah).
Sebagaimana dikutip situs www.maannews.net, zionis-israel telah memenjarakan seekor kucing Palestina. Kucing ini dinilai menjadi penghubung di sel isolasi di kamp tahanan pejuang-pejuang Palestina di Negev.
Menurut pejabat israel, kucing tersebut membantu para tahanan dengan membawa barang-barang ringan seperti surat, roti dan lainnya dari satu sel ke sel lain. Peran itu dimainkan si kucing selama berbulan-bulan, sebelum akhirnya ketahuan.
Penjaga penjara Negev lalu menjebloskan kucing itu ke dalam sel khusus. Nah, siapa bersedia menjenguk kucing yang pintar ini? Adakah kira-kira pengacara dermawan yang akan membelanya?

Note : Tulisan ini Saya Copass dari Annida-online dari Cholis Akbar/Suara Hidayatullah sumber:http://haxims.blogspot.com/2011/04/kisah-kucing-kesayangan-nabi-saw-dan.htm

Jumat, 23 Desember 2011

Tiga Pendekar Ajaib



Tiga Pendekar Ajaib

Dadang, Ican dan Amay

  
                                  Gaya angkuh Dadang waktu masih muda. 
“Hayo.. tataplah mataku, Kau pasti kan terpesona padaku. Miauww...”









nah.. yang ini ayang kesayangan Saya... hehe.. 
Namanya Nur Ihsan alias Ican Cayank...







Generasi Kuning yang tersisa adalah Si Amay...
Meskipun paling kecil, Si Amay lah kucing terpintar
Jagoan menangkap tikus-tikus, kecoa, belalang, kodok, kadal,
dan masih.... banyak lagi... hehehe...



Senin, 28 November 2011

Impian Dari Desa


Impian Dari Desa

Oleh : Khoiriyyah Azzahro

Terduduk Ia melepas penat yang semakin terasa pada kedua kakinya. Mata sayunya menyiratkan keletihan yang amat. Sesekali diusapnya wajah yang berpeluh penuh. Sebatang rokok disodorkan dari samping. Dengan lunglai diraihnya jua. Sejurus kemudian, asap mengepul dari mulut dan hidungnya.
“Sampai tebila kita di sini, Mas?” sejurus tanya terdengar.
Ia tolehkan wajah ke lelaki berumur dua puluhan di sampingnya.
“Ya ndak tau ! Mungkin sampai besok, mungkin sampai seminggu, sebulan… Kenapa? Kamu sudah bosan? Sudah capek? Weis.. tidur sana!”
Anak muda kok ndak punya semangat?!
Ia menggerutu dalam hati.
Baru segini sudah capek! Bosan!
Masih saja Ia menggerutu sendiri dalam hati.
“ Ya.. kada kayaitu, Mas ay! Soalnya Saya sudah bilang sama bini dan anak di kampung, kalau Saya kada lawas ninggalin mereka di desa. Mas tau kan.. Ramlah lagi hamil tujuh bulan. Kada tega Saya ninggalinnya” tutur lelaki muda di sampingnya.
Dibuangnya rokok yang tinggal setengah. Ditatapnya lelaki di sampingnya. Di desa lelaki ini adalah tetangganya. Masih muda memang.
Baru saja mulutnya hendak berucap, seseorang menepuk pundaknya.
“Mas, ada wartawan, tuh! Katanya mau wawancara dengan salah satu koordinator” Diki tiba sambil tergesa. Di tangannya tergenggam bendera berlambangkan padi dan kapas. Dua benda yang djadikan simbol kemakmuran negri ini.
“Mana?”
“Tuh!” Diki menunjuk dua orang yang sedang ngobrol di dekat pos satpam. Si perempuan memegang tape recorder, sementara si lelaki sibuk bercakap dengan seorang satpam.
Langsung saja dirapikannya pakaian ‘dinas’ putih-putih dengan emblem besar di dada kirinya. Ditambah topi hitam di kepala, menambah gagah penampilannya di siang nan terik itu.
Ia mengkhayalkan potret dirinya terpampang pada halaman depan sebuah surat kabar ibukota. Memimpikan dirinya dielu-elukan warga desa karena berhasil ‘masuk koran’ ibukota.
Akan Kutunjukkan pada semua, sekarang orang desa nda bisa dibodohi lagi! bisik hatinya berapi-api.
“Catat ya, Mba! Kami datang ke ibukota ini dari jam enam kemarin sore dan nginep di masjid ujung sana” masih berapi-api Ia berucap.
“Catat ya, Mba! Kami ke sini dengan duit pas-pasan. Malah ada yang jual ayam dan kambing peliharaannya. Tapi, biar kitu,  kami seneng bisa sampe di sini“
Si ‘Mba wartawati’ mesem-mesem mendengar penuturannya.
“Permisi sebentar, Mba!“ Diki menyela tiba-tiba, menggamitnya menjauhi si wartawati.
“Mas, kayapa pian nih? Jangan nyuruh-nyuruh kayaitu! Malu, Mas!”
“Apanya yang nyuruh? Aku bicara apa adanya to? Biar semua orang tau kalau kita ke sini untuk memperjuangkan nasib rakyat”
“Iya, Mas. Tapi…”
“Permisi, Bapak-bapak! Kebetulan Kami sedang terburu-buru, karena ada hal lain yang juga akan segera Kami liput. Bila Bapak-bapak tak keberatan, dapatkah Saya me-wawancarai yang lainnya saja?”
Ia dan Diki berpandangan sejenak.  “Oke! Sebentar, Mba! Mas Ridwan! Sini, Mas!”
Lelaki yang dipanggil mendekat.
“Mba boleh bicara dengan beliau. Namanya Ridwan. Ia kami percayai sebagai… engapa namanya... eng.. juru bicara! Ya.. juru bicara
Ia segera menjauh saja dari mereka. Weis ya sudah! Ridwan saja! Dia kan pernah tinggal di kota, pernah kuliah. Aku ini emang ndeso. Kampungan. Dari kecil cuma jadi warga transmigran di Kalimantan. Punya orangtua juga kampungan. Dasar nasib!
Lagi-lagi Ia menggerutu dalam hati. Ntah sudah berapa kali Ia menggerutu sepanjang hari ini. Otaknya terasa sesak, semakin sesak, bahkan sebentar lagi mungkin akan segera meledak.
Hah! Meledak ?! Wuah! Jangan! Jangan dulu! Aku kan belum berhasil membuat desaku, negriku, tumpah darahku ini maju. Belum! Hak-hak rakyat desa harus segera diperjuangkan! Hidup kami harus dimakmurkan! Dan impianku harus diwujudkan!
Dilihatnya Pamuji, salah seorang perangkat desa bawahannya, berdiri dan berorasi di depan gedung yang sedang dijaga ketat oleh pagar betis beberapa aparat pengaman.
“Sekarang kita, orang desa, tidak akan lagi menjadi penonton. Kita sudah punya rumah sendiri, Partai XZYW, yang dibangun demi rakyat Indonesia, demi seluruh rakyat desa”
 “Kita tak minta dari para jenderal besar. Kita tak perlu lagi mendengar janji gombal yang selalu diucapkan orang-orang parpol dan tokoh nasional setiap kali pemilu. Dan ingatlah! Partai kita ini, rumah kita ini, kita bangun dan bentuk dari bawah ke atas bukan dari atas ke bawah”
Hebat! Hebat kowe, Ji! Tunjukkin! Tunjukkin pada semua. Kalau kita orang desa juga bisa maju. Kita bisa bangun sendiri desa kita, lewat partai yang kita dirikan ini. Ia bertepuk tangan lalu mengepalkan tangannya tinggi-tinggi ke udara.
Hari ini adalah hari ketiga Ia bersama teman-temannya berunjuk rasa pada instansi pemerintah itu. Hampir empat hari sudah mereka berada di ibukota. Tidur di masjid, mandi dan buang air pun mereka lakukan di wc masjid. Makan? Tak masalah! Ia dan teman-temannya sudah terbiasa ‘berpuasa’. Semuanya demi desa tercinta. Karenanya mereka keukeuh memperjuangkan aspirasi yang lama terpendam.
Ia menengok perlahan ke arah barisan belakang. Lho? Ada apa ya? Kenapa mereka berkerumun seperti itu?
Ada yang pingsan, Mas!”
“Apa? Payah bener?! Baru segini kok ngoyo? Haal…lah!”.  Ingin Ia mengumpat sejadinya. Namun didengarnya perut yang tiba-tiba bersorak mengharap masuknya benda pengganjal. Ia tertegun. Ya, perutnya. Dan bagaimana dengan perut teman-temannya, perut anak istri, keluarga, tetangga, kerabat di desa yang telah tiga hari di tinggalkan?
“Maaf, Bapak-bapak! Rekan-rekan sekalian!” seorang lelaki berseragam dengan beberapa sematan beds di sana sini, berdiri di depan pintu kantor nan cukup megah itu. Di sisi kiri kanannya, berdiri tegap dua orang petugas keamanan.
“Agar masalah tak berlarut-larut, Kami meminta tiga orang utusan dari rekan-rekan guna dipertemukan dengan pihak kami”
Hening sejenak, berpasang mata berpandangan. Lalu…
“Begini, Bapak-bapak pejabat! Semua yang Kami lakukan ini lahir dari nurani rakyat. Kami, orang desa, tak dibayar atau disuruh… apa jar istilahnya? Oya.. ditunggangi oleh pihak mana pun!“ gelegar Slamet berapi-api memenuhi ruang ber-AC yang wangi parfum aerosol itu. Berpasang mata menatapi Slamet dari balik sebuah meja panjang.
“Oh.. begitu. Jadi Bapak-bapak dari desa ini ingin mendirikan partai sebenarnya untuk apa? Kan banyak pilihan dari yang sudah ada. Mengapa tidak diutarakan saja aspirasi Bapak-Bapak pada partai-partai yang sudah ada?” salah seorang yang dipanggil ‘Bapak pejabat’ bertanya dari balik meja. Sembari menatap Slamet lekat.
“Yang mana? Zaman sekarang, apa ada partai yang bisa kami percayai? Apa ada fihak yang benar-benar perduli pada kami? Yang mana, Pak?”
Nada tinggi kalimat tanya Slamet, sukses membuat kuping dan hatinya terasa panas. Di ruangan yang dingin ber-AC itu Ia merasa gerah oleh emosi.
Lalu, fikirannya menerawang. Air mukanya berubah.
“Sudah kami lihat dengan mata kepala kami sendiri. Banyak rakyat desa yang pindah ke ibukota. Tapi di ibukota malah makin susah. Mau berdagang di emperan, dihalau satpol PP. Mau ikut kerja kantoran, tak punya ijazah. Sudah sulit cari uang di desa, eh… di ibukota sama saja. Lalu.. bagaimana? Sementara parpol-parpol yang kami harapkan dapat membangun desa hanya mengumbar janji tanpa kepastian”
Serasa seluruh persendiannya lepas dan otot-ototnya lemas begitu saja usai mengucakan kalimat yang telah susah payah diaturnya tersebut.
“Kami, para kepala dan perangkat desa dapat netral dalam sikap. Meski kami mendirikan partai ini dan menjadi kader di dalamnya” giliran Pamuji berucap.
Ah.. Pamuji, kau emang anak buahku yang cuerrrdass! Omonganmu itu selalu hebat! Ia memuji dalam hati. Namun entah mengapa pandangannya mulai terasa mengabur. Samar dilihatnya tubuh Pamuji yang tiba-tiba limbung ditahan oleh Slamet yang berada di sebelahnya.
“Baiklah, Bapak-bapak! Kami telah menangkap maksud Bapak-bapak sekalian. Selanjutnya…”
Buuk!!!
Tubuh limbung Pamuji ambruk ke lantai secara tiba-tiba. Beberapa orang menoleh untuk mencari tahu sumber suara yang amat mengejutkan seisi ruangan tersebut.
Ia ikut menoleh pula. Meski hanya mendapati ribuan kunang-kunang pada kedua pandangannya. Dan sebelum  berhasil mendekatkan diri dengan arah suara, Ia merasa sekitarnya berputar.
Lalu Ia teringat kembali pada perutnya, perut rekan-rekannya, perut handai taulannya, yang tak terisi selama empat hari ini. Ingatannya terbang pada anak istrinya di desa. Mereka pasti berharap Ia dan rekan-rekannya kembali ke desa dengan rezeki dan duit yang banyak. Ia pun masih mengingat padi dan kapas, lambang kemakmuran, partai mereka kelak. Ia masih ingat pula pada Pamuji yang jago berbicara serta retorika, bak Bung Karno. Pada Slamet yang lihai bercakap dengan banyak orang, bak diplomat. Serta pada semangat yang selalu dimilikinya.
Ya.. Ia ingat semuanya. Sebelum gelap menguasainya sekejap kemudian dan tubuhnya terkulai pada licinnya lantai gedung ber-Ac dan wangi aerosol itu.

Banjarmasin, 11 July 2008-2011

 Telah dimuat pada Harian Radar Banjarmasin, edisi 27 November 2011