Senin, 28 November 2011

Impian Dari Desa


Impian Dari Desa

Oleh : Khoiriyyah Azzahro

Terduduk Ia melepas penat yang semakin terasa pada kedua kakinya. Mata sayunya menyiratkan keletihan yang amat. Sesekali diusapnya wajah yang berpeluh penuh. Sebatang rokok disodorkan dari samping. Dengan lunglai diraihnya jua. Sejurus kemudian, asap mengepul dari mulut dan hidungnya.
“Sampai tebila kita di sini, Mas?” sejurus tanya terdengar.
Ia tolehkan wajah ke lelaki berumur dua puluhan di sampingnya.
“Ya ndak tau ! Mungkin sampai besok, mungkin sampai seminggu, sebulan… Kenapa? Kamu sudah bosan? Sudah capek? Weis.. tidur sana!”
Anak muda kok ndak punya semangat?!
Ia menggerutu dalam hati.
Baru segini sudah capek! Bosan!
Masih saja Ia menggerutu sendiri dalam hati.
“ Ya.. kada kayaitu, Mas ay! Soalnya Saya sudah bilang sama bini dan anak di kampung, kalau Saya kada lawas ninggalin mereka di desa. Mas tau kan.. Ramlah lagi hamil tujuh bulan. Kada tega Saya ninggalinnya” tutur lelaki muda di sampingnya.
Dibuangnya rokok yang tinggal setengah. Ditatapnya lelaki di sampingnya. Di desa lelaki ini adalah tetangganya. Masih muda memang.
Baru saja mulutnya hendak berucap, seseorang menepuk pundaknya.
“Mas, ada wartawan, tuh! Katanya mau wawancara dengan salah satu koordinator” Diki tiba sambil tergesa. Di tangannya tergenggam bendera berlambangkan padi dan kapas. Dua benda yang djadikan simbol kemakmuran negri ini.
“Mana?”
“Tuh!” Diki menunjuk dua orang yang sedang ngobrol di dekat pos satpam. Si perempuan memegang tape recorder, sementara si lelaki sibuk bercakap dengan seorang satpam.
Langsung saja dirapikannya pakaian ‘dinas’ putih-putih dengan emblem besar di dada kirinya. Ditambah topi hitam di kepala, menambah gagah penampilannya di siang nan terik itu.
Ia mengkhayalkan potret dirinya terpampang pada halaman depan sebuah surat kabar ibukota. Memimpikan dirinya dielu-elukan warga desa karena berhasil ‘masuk koran’ ibukota.
Akan Kutunjukkan pada semua, sekarang orang desa nda bisa dibodohi lagi! bisik hatinya berapi-api.
“Catat ya, Mba! Kami datang ke ibukota ini dari jam enam kemarin sore dan nginep di masjid ujung sana” masih berapi-api Ia berucap.
“Catat ya, Mba! Kami ke sini dengan duit pas-pasan. Malah ada yang jual ayam dan kambing peliharaannya. Tapi, biar kitu,  kami seneng bisa sampe di sini“
Si ‘Mba wartawati’ mesem-mesem mendengar penuturannya.
“Permisi sebentar, Mba!“ Diki menyela tiba-tiba, menggamitnya menjauhi si wartawati.
“Mas, kayapa pian nih? Jangan nyuruh-nyuruh kayaitu! Malu, Mas!”
“Apanya yang nyuruh? Aku bicara apa adanya to? Biar semua orang tau kalau kita ke sini untuk memperjuangkan nasib rakyat”
“Iya, Mas. Tapi…”
“Permisi, Bapak-bapak! Kebetulan Kami sedang terburu-buru, karena ada hal lain yang juga akan segera Kami liput. Bila Bapak-bapak tak keberatan, dapatkah Saya me-wawancarai yang lainnya saja?”
Ia dan Diki berpandangan sejenak.  “Oke! Sebentar, Mba! Mas Ridwan! Sini, Mas!”
Lelaki yang dipanggil mendekat.
“Mba boleh bicara dengan beliau. Namanya Ridwan. Ia kami percayai sebagai… engapa namanya... eng.. juru bicara! Ya.. juru bicara
Ia segera menjauh saja dari mereka. Weis ya sudah! Ridwan saja! Dia kan pernah tinggal di kota, pernah kuliah. Aku ini emang ndeso. Kampungan. Dari kecil cuma jadi warga transmigran di Kalimantan. Punya orangtua juga kampungan. Dasar nasib!
Lagi-lagi Ia menggerutu dalam hati. Ntah sudah berapa kali Ia menggerutu sepanjang hari ini. Otaknya terasa sesak, semakin sesak, bahkan sebentar lagi mungkin akan segera meledak.
Hah! Meledak ?! Wuah! Jangan! Jangan dulu! Aku kan belum berhasil membuat desaku, negriku, tumpah darahku ini maju. Belum! Hak-hak rakyat desa harus segera diperjuangkan! Hidup kami harus dimakmurkan! Dan impianku harus diwujudkan!
Dilihatnya Pamuji, salah seorang perangkat desa bawahannya, berdiri dan berorasi di depan gedung yang sedang dijaga ketat oleh pagar betis beberapa aparat pengaman.
“Sekarang kita, orang desa, tidak akan lagi menjadi penonton. Kita sudah punya rumah sendiri, Partai XZYW, yang dibangun demi rakyat Indonesia, demi seluruh rakyat desa”
 “Kita tak minta dari para jenderal besar. Kita tak perlu lagi mendengar janji gombal yang selalu diucapkan orang-orang parpol dan tokoh nasional setiap kali pemilu. Dan ingatlah! Partai kita ini, rumah kita ini, kita bangun dan bentuk dari bawah ke atas bukan dari atas ke bawah”
Hebat! Hebat kowe, Ji! Tunjukkin! Tunjukkin pada semua. Kalau kita orang desa juga bisa maju. Kita bisa bangun sendiri desa kita, lewat partai yang kita dirikan ini. Ia bertepuk tangan lalu mengepalkan tangannya tinggi-tinggi ke udara.
Hari ini adalah hari ketiga Ia bersama teman-temannya berunjuk rasa pada instansi pemerintah itu. Hampir empat hari sudah mereka berada di ibukota. Tidur di masjid, mandi dan buang air pun mereka lakukan di wc masjid. Makan? Tak masalah! Ia dan teman-temannya sudah terbiasa ‘berpuasa’. Semuanya demi desa tercinta. Karenanya mereka keukeuh memperjuangkan aspirasi yang lama terpendam.
Ia menengok perlahan ke arah barisan belakang. Lho? Ada apa ya? Kenapa mereka berkerumun seperti itu?
Ada yang pingsan, Mas!”
“Apa? Payah bener?! Baru segini kok ngoyo? Haal…lah!”.  Ingin Ia mengumpat sejadinya. Namun didengarnya perut yang tiba-tiba bersorak mengharap masuknya benda pengganjal. Ia tertegun. Ya, perutnya. Dan bagaimana dengan perut teman-temannya, perut anak istri, keluarga, tetangga, kerabat di desa yang telah tiga hari di tinggalkan?
“Maaf, Bapak-bapak! Rekan-rekan sekalian!” seorang lelaki berseragam dengan beberapa sematan beds di sana sini, berdiri di depan pintu kantor nan cukup megah itu. Di sisi kiri kanannya, berdiri tegap dua orang petugas keamanan.
“Agar masalah tak berlarut-larut, Kami meminta tiga orang utusan dari rekan-rekan guna dipertemukan dengan pihak kami”
Hening sejenak, berpasang mata berpandangan. Lalu…
“Begini, Bapak-bapak pejabat! Semua yang Kami lakukan ini lahir dari nurani rakyat. Kami, orang desa, tak dibayar atau disuruh… apa jar istilahnya? Oya.. ditunggangi oleh pihak mana pun!“ gelegar Slamet berapi-api memenuhi ruang ber-AC yang wangi parfum aerosol itu. Berpasang mata menatapi Slamet dari balik sebuah meja panjang.
“Oh.. begitu. Jadi Bapak-bapak dari desa ini ingin mendirikan partai sebenarnya untuk apa? Kan banyak pilihan dari yang sudah ada. Mengapa tidak diutarakan saja aspirasi Bapak-Bapak pada partai-partai yang sudah ada?” salah seorang yang dipanggil ‘Bapak pejabat’ bertanya dari balik meja. Sembari menatap Slamet lekat.
“Yang mana? Zaman sekarang, apa ada partai yang bisa kami percayai? Apa ada fihak yang benar-benar perduli pada kami? Yang mana, Pak?”
Nada tinggi kalimat tanya Slamet, sukses membuat kuping dan hatinya terasa panas. Di ruangan yang dingin ber-AC itu Ia merasa gerah oleh emosi.
Lalu, fikirannya menerawang. Air mukanya berubah.
“Sudah kami lihat dengan mata kepala kami sendiri. Banyak rakyat desa yang pindah ke ibukota. Tapi di ibukota malah makin susah. Mau berdagang di emperan, dihalau satpol PP. Mau ikut kerja kantoran, tak punya ijazah. Sudah sulit cari uang di desa, eh… di ibukota sama saja. Lalu.. bagaimana? Sementara parpol-parpol yang kami harapkan dapat membangun desa hanya mengumbar janji tanpa kepastian”
Serasa seluruh persendiannya lepas dan otot-ototnya lemas begitu saja usai mengucakan kalimat yang telah susah payah diaturnya tersebut.
“Kami, para kepala dan perangkat desa dapat netral dalam sikap. Meski kami mendirikan partai ini dan menjadi kader di dalamnya” giliran Pamuji berucap.
Ah.. Pamuji, kau emang anak buahku yang cuerrrdass! Omonganmu itu selalu hebat! Ia memuji dalam hati. Namun entah mengapa pandangannya mulai terasa mengabur. Samar dilihatnya tubuh Pamuji yang tiba-tiba limbung ditahan oleh Slamet yang berada di sebelahnya.
“Baiklah, Bapak-bapak! Kami telah menangkap maksud Bapak-bapak sekalian. Selanjutnya…”
Buuk!!!
Tubuh limbung Pamuji ambruk ke lantai secara tiba-tiba. Beberapa orang menoleh untuk mencari tahu sumber suara yang amat mengejutkan seisi ruangan tersebut.
Ia ikut menoleh pula. Meski hanya mendapati ribuan kunang-kunang pada kedua pandangannya. Dan sebelum  berhasil mendekatkan diri dengan arah suara, Ia merasa sekitarnya berputar.
Lalu Ia teringat kembali pada perutnya, perut rekan-rekannya, perut handai taulannya, yang tak terisi selama empat hari ini. Ingatannya terbang pada anak istrinya di desa. Mereka pasti berharap Ia dan rekan-rekannya kembali ke desa dengan rezeki dan duit yang banyak. Ia pun masih mengingat padi dan kapas, lambang kemakmuran, partai mereka kelak. Ia masih ingat pula pada Pamuji yang jago berbicara serta retorika, bak Bung Karno. Pada Slamet yang lihai bercakap dengan banyak orang, bak diplomat. Serta pada semangat yang selalu dimilikinya.
Ya.. Ia ingat semuanya. Sebelum gelap menguasainya sekejap kemudian dan tubuhnya terkulai pada licinnya lantai gedung ber-Ac dan wangi aerosol itu.

Banjarmasin, 11 July 2008-2011

 Telah dimuat pada Harian Radar Banjarmasin, edisi 27 November 2011