Senin, 24 Oktober 2011

Bubur Terakhir Buat Ayah

Bubur Terakhir Buat Ayah

Oleh : Khoiriyyah Azzahro



Irwan menggenggam kantong plastik hitam berisi semangkuk bubur ayam yang masih hangat. Ia baru saja membelinya di warung ujung jalan.
Bergegas Irwan menuju sebuah kolong jembatan di Pulo Gebang. Hatinya terperciki syukur. Sepagi ini, uang sebesar 150 ribu rupiah telah rapi di saku celananya. Maka Ia semakin gegas menuju kolong jembatan itu.
Sesampainya di sana, rasa heran memenuhi kepalanya. Karena didapatinya kerumunan manusia. “Ada orang mati,” kata seorang yang ikut berkerumun.
Degup sanubari Irwan memacu. Mangkuk dalam plastik hitam di genggamannya ikut gemetar. Maka, segera Ia terobos kerumunan manusia. Tak diperdulikannya beberapa aparat polisi dan petugas keamanan yang mencoba menghalangi tubuhnya.
Degup sanubarinya terus memacu. Kala dilihatnya sesosok lelaki terbaring kaku di dekat pilar jembatan. Maka, Ia terus mencoba menerobos tubuh-tubuh kekar aparat. Ia ngotot.
Dan Ia harus ngotot. Ya.. karena Ia adalah darah daging dari lelaki yang terbaring kaku tersebut.
“Siapa yang meninggalkannya di sini?” tanya seorang petugas.
“Saya, Pak!” Seluruh pandang tertuju pada Irwan.
“Kalau begitu Anda ikut kami!”
Irwan digiring ke sebuah sudut trotoar oleh petugas tersebut. Ia turuti langkah kaki sang petugas. Di tangannya masih menggenggam kantong plastik hitam berisi semangkuk bubur ayam yang masih hangat.
“Benar Anda yang meninggalkan lelaki itu di bawah jembatan ini?” seorang petugas lain dengan sebatang rokok yang masih mengepulkan asap terselip diantara jemari tangannya bertanya kepada Irwan.
“Iya, Pak!”
Kepala sang petugas manggut-manggut saja.
“Itu apa?” tunjuk ptugas itu pada kantong plastik hitam di genggaman Irwan.
“Bubur ayam, Pak!”
Kepala sang petugas menegang dan alisnya tertekuk.
“Bubur ayam?”
Irwan terdiam saja. Tak ditanggapinya ucapan sang petugas. Hatinya terpeciki sendu. Sepagi ini, uang sebesar 150 ribu rupiah yang rapi di saku celananya serasa tiada arti lagi. Padahal untuk uang sebesar itu, Irwan telah korbankan tenaganya, keluarganya, bahkan rasa malunya.
Ingatannya berlabuh pada 46 jam sebelum pagi ini. Kala masih dipandangnya sesosok lelaki pada jendela nako sebuah kamar. Bau aneka obat dan karbol, seragam serba putih yang lalu lalang, anyelir rekah di taman, serta hamparan manusia yang tertidur di depan kamar-kamar seukuran tak lebih dari 3 x 4 meter tersebut.
“Mari, Pak Irwan!” seorang pria berbaju putih bersih dengan sebuah stetoskop di dadanya mengajak Irwan memasuki kamar tersebut.
Maka didapatinya sesosok lelaki yang terkulai dengan lemas pada sebuah dipan di kamar yang juga ber-cat putih tersebut. Dan Irwan hanya menatapi wajah yang memucat serta mata yang mengerjap pada sosok lelaki tersebut.
Irwan tersadar setelah pandangnya menangkap gerak tangan sang pria berbaju putih bersih yang menelusur pada punggung telapak tangan lelaki itu.
“Bila saja Pak Irwan punya kartu miskin, Pak Sarwani masih boleh dirawat di sini sampai benar-benar sembuh” ujar sang pria berbaju putih sambil melepas jarum dan selang infus dari tangan sosok lelaki yang terkulai di hadapannya.
Irwan diam saja. Tangannya sibuk merapikan lembar-lembar pakaian dan sisa beberapa makanan ringan yang kemudian di masukannya pada sebuah kantong plastik.
“Memangnya Pak Irwan nggak punya kartu miskin?” tanya sang pria berbaju putih sambil meletakkan potongan kapas beralkohol pada tangan sesosok lelaki yang masih terkulai lemas tersebut.
Irwan menggeleng saja. Tangannya sibuk merapikan botol-botol air mineral yang kemudian dimasukkannya pada kantong plastik lainnya.
“Sayang sekali lho, Pak Irwan! Soalnya, pemerintah kan sekarang punya program asuransi kesehatan gratis buat 36 juta keluarga tidak mampu atau miskin”
Sejenak Irwan pandangi saja wajah pria berbaju putih bersih di hadapannya dengan hampa.
Ah, bagaimana caranya menjelaskan pada pria di hadapannya ini, bahwa asuransi tersebut mungkin tak kan pernah sampai ke lorong rumahnya, lorong rumah saudaranya, atau lorong rumah orangtuanya.
“Pak Irwan tahu tidak, bila Bapak punya kartu miskin, Bapak bisa memperoleh asuransi kesehatan, bahkan berobat gratis di rumah sakit”
Dan Irwan masih memandangi saja wajah pria di hadapannya tersebut dengan hampa.
Sungguh, bagaimanakah caranya memberitahu pria di hadapannya ini, bahwa bila pun Ia memiliki kartu miskin –atau apa pun namanya- asuransi tersebut tak kan pernah menjadi jatahnya, jatah saudaranya, jatah orangtuanya.
“Pak Sarwani… sekarang Bapak boleh pulang. Nanti Bapak dirawat di rumah saja, ya… sama anak-anak Bapak” sang pria berbaju putih bersih bercakap ramah pada sosok lelaki yang masih terkulai lemas. Ia memapah tubuh lemas lelaki setengah baya itu menuju sebuah kursi roda.
Irwan menyongsong pria tersebut dan turut memapah tubuh lemas itu hingga benar-benar terduduk pada kursi rodanya. Saat Ia mendorong kursi itu menuju pintu kamar, Ia mendapati Suwarno di sana.
“Mas, Aku tadi sudah ketemu sama petugas rumah sakit sini. Mereka bilang, biayanya tiga ratus ribu” ujar Suwarno setengah berbisik pada Irwan.
Irwan tatapi sosok Suwarno dengan pandangan kosong.
Tiga ratus ribu….
Uang di saku celananya kini ada 350 ribu rupiah. Semua dari hasil mengutang ke tetangga kanan kiri rumahnya.
Gamang, diserahkannya juga empat lembar lima puluh ribuan dan lima lembar dua puluh ribuan pada Suwarno. Ipar lelakinya itu segera berlari menuju loket, setelah menerima lembaran-lembaran tersebut.
Irwan lalu berkeliling saja, sembari mendorong sebuah kursi roda yang masih diduduki seorang lelaki setengah baya yang terkulai lemas. Ia lemparkan pandang ke seluruh penjuru bangunan. Udara penuh bau aneka obat juga karbol, seragam serba putih yang lalu lalang, anyelir kuncup di sisi selokan, dan jejeran manusia mengantri di bangku panjang. Hingga pandangnya kembali pada sosok lelaki setengah baya di depannya.
Aduh Mak, setelah ini hendak kemana pula Ia bawa lelaki ini. Sungguh tidaklah mungkin bila lelaki ini Ia tampung di rumahnya yang hanya seukuran sebuah garasi mobil itu. Lagipula, Ropeah pasti akan sangat keberatan. Perempuan yang sedang mengandung anaknya yang keempat itu, pasti tak kan sanggup melihat kondisi lelaki di hadapannya ini.
Maka, diputuskannya untuk mencari sebuah rumah petak mungil, meski uang di saku celananya hanya bersisa dua puluh ribu rupiah.
“Apa Mas yakin, Ayah akan baik-baik saja sendiri di sini?” tanya Suwarno setelah Ia dan adik iparnya itu menemukan sebuah tempat tinggal.
“Ya mau gimana lagi! Kamu kan harus kerja. Ntar kalau gaji memburuh-mu dipotong, gimana? Aku ntar pulang kalau Ayah sudah tidur” lirih Irwan dalam pasrah.
“Ya udah, Mas! Aku pamit ya, Mas!”
Irwan mengangguk saja. Siang hingga malam itu, Ia pandangi sendiri sebaris wajah pucat lelaki yang Ia baringkan pada ubin lantai nan dingin. Hatinya terperciki sepi. Duhai, apakah lagi yang kan diperbuatnya bagi lelaki yang tiga puluh tahun lalu menemaninya mengambil buku rapor pertamanya di bangku sekolah dasar. Lelaki yang telah membenamkan angan pada benaknya tentang manisnya hidup pabila Ia selalu giat menuntut ilmu. Lelaki yang telah meregangkan otot-ototnya demi setianya kebul asap di dapur Ibu.
Namun malam itu, Irwan tak dapat balas menemani sang lelaki pucat. Ia harus pulang pada anak istrinya yang telah ditinggalkannya seharian. Tepat ketika sang lelaki pucat terlah berkawan dengan lelap.
“Bukannya Mas masih punya bibi di kota ini?”
Irwan terhenyak mendengar tanya dari mulut Ropeah, istrinya, di keheningan malam itu.
“Yang rumahnya di Cakung itu lho, Mas…”
 Dan Irwan masih terhenyak mendengar tutur dari mulut perempuan lembut itu.
Ya, tanya dan tutur itu memberi sependar harapan untuk hari esok. Hingga meski malam itu amatlah hening, Namun ada seuntai belai pada gundah dan lelah di sekujur tubuh Irwan.
Maka, keesokan pagi nan mendung, Irwan menyeret langkah menuju sebuah warung di ujung jalan. Hatinya terperciki harap. Dengan berbekal uang sisa di saku celana Ia membeli semangkuk bubur ayam. Lalu bergegas menuju sebuah rumah petak mungil.
Di pintu rumah petak mungil itu, didapatinya Suwarno menggenggam sebuah kantong plastik hitam.
“Ini sisa di ‘lapangan’ kemarin, Mas. Teman-teman buruh gak memakannya”
Irwan tersenyum melihat beberapa kue jajan pasar pada kantong plastic hitam di genggaman Suwarno. Cukup untuk mengganjal perut yang belum terisi sejak kemarin.
Namun, belum sempat  Irwan mengucap “syukur” atas rezekinya pagi itu, terdengar bunyi langkah dari kejauhan. Dan belum sempat Irwan berikan suapan bubur ayam pertama pada mulut lelaki pucat yang telah ditinggalkannya dalam lelap tadi malam, terdengar sapa wanita sang induk semang rumah petak mungil yang baru ditempatinya itu.
“Maaf, Mas! Bapaknya sakit ya?”
Tanya itu dijawab Irwan dengan penjelasan. Ah, adakah hatinya tertoreh kala wanita si pemilik rumah petak yang tengah ditempatinya berujar, “Maaf, Mas! Tolong cari tempat lain aja, ya! Saya gak mau nanggung kalau ada apa-apa,” sembari melirik ke arah sang lelaki pucat yang pagi itu semakin lemas terbaring pada lantai nan dingin.
Maka, kehadapan hujan pagi nan rintik, Irwan membopong kembali sang lelaki lemas nan pucat. Hatinya terperciki cemas. Bersama Suwarno, Ia tuju rumah bibi satu-satunya di kawasan Cakung. Ia pun acuh saja kala mencegat sebuah mobil dengan bak terbuka di belakang. Dan setelah mendapat izin dari sang supir Ia pun mengompreng.
Namun, belum sempat Irwan  berucap “mohon” atas hajatnya pagi itu, terdengar suara tampikkan dari mulut saudari ayahnya tersebut. Dan belum sempat Irwan bersadar diri akan ter-sia-nya lakon pagi itu, terasa denyut yang makin kuat di kepalanya. Hingga Ia tergugu, karena Ia menyadari hanya ada selembar sepuluh ribuan dan lima ribuan pada saku celananya.
“Maaf, Pak! Sebenarnya kita mau kemana ya?”
Tanya itu tak terjawab oleh Irwan. Ah, adakah fikirnya tertuju kala si sopir mobil omprengan berujar, “Maaf, Pak! Saya jadi pusing, nih! Dari tadi kita muter-muter aja di sekitar sini”
Maka, keharibaan  hujan siang nan lebat, Irwan memapah kembali sang lelaki lemas jua pucat. Hatinya terperciki kalut. Ditemani Suwarno, Ia tuju jembatan terdekat di seputar Pulo Gebang. Ia acuh saja kala harus sedikit mendaki lereng beton jembatan itu sambil memapah tubuh sang lelaki yang lemas pucat.
Deru kendaraan beradu dengan deras lebatnya air hujan. Keduanya bersahutan dalam percakapan alam. Namun Irwan, Suwarno, dan sang lelaki lemas jua pucat, ketiganya bersahutan dalam bungkam. Hingga Suwarno pamit untuk bekerja. Meninggalkan Ia dan sang lelaki pucat.
Detik waktu beradu dengan denyut jantung. Keduanya beriringin dalam pendengaran sanubari. Namun Irwan mengadu pada dingin yang berhembus. Dan Ia temukan jawaban, Ia harus segera menghubungi seseorang lain demi ayah, lelaki yang semakin pucat di dekatnya tersebut.
Sepi kan menyelimuti ayah. Gelap kan menemani ayah. Do’a kan menjaga ayah. Begitu keyakinan sanubari Irwan. Hingga malam itu Ia kembali meninggalkan sang lelaki lemas sendiri saja pada lereng curam di bawah sebuah jembatan.
Ah, adakah Irwan teringat akan sebuah kantong plastik berisi bubur ayam yang telah dingin dan ditinggalkannya disamping lelaki yang teronggok lemas lagi pucat itu... Dan adakah Irwan terfikir bahwa lelaki lemas yang ditingalkannya akan terbangun di malam dingin itu, lalu meraih bubur ayam dingin tersebut demi lapar yang dirasakannya… Lalu adakah Irwan terbayang pada lelaki lemas dan pucat yang menggigil seorang diri di bawah sebuah jembatan…
Mungkin Irwan tak pernah sanggup membayangkan pabila lelaki lemas serta pucat itu merangkak, menggapai dan mencoba berbangkit. Karena yang ada hanyalah sisa detik yang fana dan berkelakar dengan maut.
Bahkan Irwan tak kan pernah mengharapkan pabila pada dinihari itu Ia sanggup terlelap, setelah lelah berkunjung pada seorang anak pamannya, satu-satunya saudara sepupu yang Ia miliki di kota ini. Karena pada dinihari itu, seorang lelaki lemas lagi pucat telah bercakap dengan Izroil dan bersedia didaulat ke haribaan Sang Maha Hidup.
Irwan masih menggenggam sebuah kantung plastic hitam berisi semangkuk bubur ayam. Ia telah memebelinya di warung ujung jalan. Dan seorang petugas aparat kepolisian kini sedang memandangi kantung plastik hitam tersebut dengan tatapan mata menyelidik.
“Benar itu isinya bubur ayam?”
“Benar, Pak!” Irwan mengangsurkan kantung plastik hitam digenggamannya pada petugas di hadapannya.
Dan kepala sang polisi masih menegang. Wajahnya pun masih tertekuk. Meski tangannya meraih angsuran kantung plastik hitam dengan genggaman Irwan. Kemudian petugas tersebut membuka kantung plastik hitam dengan tatapan menyelidik. Hidungnya lalu kembang kempis mendapati aroma bubur ayam yang masih hangat.
“Siapa sebenarnya Anda, dan apa hubungan Anda dengan lelaki itu?”
“Saya anak…. eeng.. ngg.. Maksud Saya, beliau ayah Saya, Pak!”
“Ayah?” terdengar nada tinggi dari mulut sang petugas. “Memangnya Anda tidak bisa menguburnya di tempat yang layak, sampai harus menaruh mayat itu di kolong jembatan ini?”
Irwan menatap wajah pria berseragam di hadapannya dengan hampa.
Ah, bagaimana caranya menjelaskan pada pria di hadapannya ini, bahwa Ia tak menaruh lelaki yang kini tinggal jasadnya saja di kolong jembatan itu. Irwan hanya menitipkan lelaki itu pada sepi, gelap dan do’a.
Sungguh, bagaimanakah caranya memberitahu pria di hadapannya ini, bahwa Ia tak mengharapkan lelaki lemas dan pucat yang terpaksa ditinggalkannya pada kolong jembatan di Pulo Gebang itu akan berkawan dan berkelakar dengan maut. Lalu menghabiskan waktunya sambil bercakap dengan Izroil hingga bersedia didaulat ke haribaan Sang Maha Hidup.
Irwan tak lagi menggenggam kantong plastik hitam berisi semangkuk bubur ayam. Benda tersebut telah berpindah ke tangan pria yang di hadapannya. Namun Ia masih ingat baru membelinya pagi ini.
“Maaf, Pak!” seorang pria lain berseragam sama dengan sang petugas meraih dan membawa kedua lengan Irwan ke balik punggungnya. Sebuah belenggu dari logam yang dingin lalu dikenakan pada kedua lengan tersebut.
Maka, didapatinya sosok dirinya yang tak lagi dapat berbuat suatu apa pun. Meski dilihatnya sang petugas mencampakkan kantong plastik hitam berisi semangkuk bubur ayam miliknya ke sebuah tong sampah. Ah, adakah Irwan teringat bahwa bubur ayam itu dibelinya untuk sesosok lelaki yang kini telah terbaring kaku di kolong sebuah jembatan…
Irwan pun mendapati sosok dirinya yang menurut saja, kala sang pria berseragam menggiring dirinya dengan tangan yang telah terbelenggu menuju sebuah mobil dengan bak terbuka di belakang. Ah, adakah pula Ia tersadar pada uang sebesar 150 ribu rupiah yang masih rapi di saku celananya…
Sepagi itu, Irwan hanya mengingat dan menyadari dua hal, bahwa Ia belum sempat berfikir tentang perutnya yang telah kosong selama lebih dari 46 jam dan bahwa Ropeah yang sedang mengandung anaknya yang keempat pasti takkan sanggup melihat kondisi dirinya kini.

-selesai-
Banjarmasin 12 Oktober 2008
 Cerpen Ini telah dimuat pada Annida-online tahun 2010