Kamis, 15 Maret 2012

Cinta Tiada Taranya


Oleh : Khoiriyyah Azzahro


Mentari terik Romadhon enggan beranjak menjauh dari langit Kota Samarinda. Menguapkan tetes air yang tertumpah, airmataku. Di sebuah kamar kost pada bangunan yang tua dan lusuh, Aku terisak menahan sesak di dada.
Ia telah menyakitiku! Mengkhianatiku! Uh... Bodohnya Aku!
Hatiku tak henti-hentinya merutuk. Menyesali yang terjadi, menyesali airmata yang terlanjur tumpah.
“Sudah, Ri...! Daripada ditahan, lebih baik begini. Perempuan itu wajar kok kalau nangis” terdengar ucapan yang lembut dari sahabatku, Enggar.
Huh! Enak saja! Emangnya siapa Ia! Beraninya membuatku menangis seperti ini. Dan membuat ibadah Romadhonku berantakan.
“Aku pernah bilang, kan Nggar! Aku gak akan pernah menangis untuk cowok kurang ajar macam Ranes!” teriakku.
Huh! Munafik! Sarung bantalmu itu sudah kuyup, Ri!
Lagi-lagi hatiku merutuk, memaki, mengamuk... pada diriku sendiri, pada kebodohanku. Meski semua rutukkan akhirnya tersia-sia, hatiku tetap saja tak henti merutuk.
Tok! Tok! Tok!  “Ri...!” seseorang di balik pintu memanggilku.
Sreeettt..... pintu terkuak. Sosok di baliknya segera menyerbu ke arahku yang masih memeluk bantal.
“Assalamu’alaykum. Ri, ikam garingkah jar? Garing napa1)?” Eva, sosok manis yang baru tiba langsung memberondongkan pertanyaan padaku.
“Sakit hati, Va! Gara-gara Si Ranes tuh!” jawab Enggar ketus.
“Hah! Cowok itu?”  Hhh.. Sabar ya, Ri! Masih banyak lelaki lain di luar sana yang pantas buat ikam2). Ya kan, Nggar?” celoteh Eva lagi.
Enggar langsung manggut-manggut.
Huh! Enak saja mereka bilang begitu! Mereka kan tidak tahu bagaimana kacaunya hatiku.
“Eh Ri.. Jadi kan kita ke kampus lagi siang ini? Ada kultum di mushola lho...” ujar Eva.
Ya ampun! Iya ya.. Ini kan hari yang sudah lama Kutunggu-tunggu. Kultum alias kuliah tujuh menit perdana yang digelar untuk kami, para mahasiswa angkatan baru, dimulai hari ini. Sejak seminggu lalu, Bang Airin, Mba Nunung dan Teh Nanan menggembar-gemborkan acara ini padaku. Sejak hatiku tercabik-cabik oleh kesal dan cemburu.
Cemburu? Ya Tuhan.. kini tak dapat lagi membohongi diriku. Aku cemburu padanya. Pada Ranes. Bodohnya Aku! Bukankah dulu sebelum memutuskan menjadi kekasihnya, Aku pernah berkata bahwa takkan pernah cemburu apalagi sungguh-sungguh jatuh cinta pada lelaki yang tak seiman denganku itu. Tapi, kini... ??
“Lho.. kok nangis lagi sih, Ri? Jadi kah ikut ke kampus?” tanya Eva.
Aku tergeragap dan segera menghapus airmataku. Eva menatapku, menunggu jawaban dariku. Oke! Sudahlah untuk kali ini! Ini airmata terakhirku untuk Ranes, lelaki pengkhianat itu. Segera Kulemparkan bantalku yang telah kuyup.
“Mau kemana, Ri?” tanya Enggar.
“Ke belakang, cuci muka!” jawabku sambil berlalu.
* * *

Aku tak tahu, mengapa sejak mengenal Teh Nanan, Bang Airin dan Mba Nunung, juga sejak awal memasuki ruangan seukuran 5 x 4 meter di pojok kampus itu, Aku selalu merasa damai dan kangen pada mereka. Senyum Teh Nanan yang lembut dan wajah Mba Nunung yang polos, dibalut jilbab dan gamis panjang yang anggun, senantiasa menentramkan hatiku. Hingga mampu membuatku lupa pada semua masalah hidupku. Termasuk pada Ranes.
Aku, Eva dan Enggar tiba di ruangan di pojok kampus itu. Mushola Al Ashr Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universita Mulawarman. Wangi syahdu sudah mendekati penciumanku.
Hmm.. Kultum kali ini pasti akan mengesankan.
Entah mengapa Aku berfikir demikian. Padahal ini adalah kali pertamaku mengikuti kegiatan kuliah tujuh menit yang digelar oleh para senior pengurus mushola di kampus.
Mushola fakultas itu kecil saja. Tak seperti mushola-mushola di fakultas lainnya di kampusku. Namun entah mengapa ketika memasukinya, Aku merasa ruang mushola itulah yang paling luas di antara seluruh ruang di kampusku. Karpetnya yang menipis dan hijab pembatasnya yang sudah mulai doyong tak mengurangi lapangnya perasaanku saat duduk dilantai mushola.
Sesaat kemudian kultum dimulai. Pembicaranya adalah mantan senior yang telah sukses di masyarakat dan kini menjadi dosen baru di kampusku. Sang moderator adalah Bang Airin, salah seorang senior yang amat gencar mempromosikan acara ini padaku.
Awalnya tiada yang istimewa. Kultum diisi dengan pembacaan hadist dan beberapa ayat Al-Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan materi tentang pentingnya menanamkan rasa ikhlas –materi yang menurutku terlalu sering diulang-ulang-  dan pertanyaan dari para pendengar. Dengan perasaan yang masih dibalut rasa sedih, Aku berusaha menyimak dengan seksama. Lamat-lamat terdengar ucapan Si Pemateri dan Bang Airin bergantian.
“Di kala hati kita dipenuhi oleh hal-hal kecil duniawi, kita sering kali terlupa pada akibat yang ditimbulkan oleh hal-hal kecil tersebut. Seakan-akan hal kecil itu tiada artinya jika dibandingkan dengan rahmat Allah yang Maha Besar. Contohnya ketika kita sedang jatuh cinta pada lawan jenis. Tak peduli apakah cinta kita tersebut di ridhoi Allah atau kah malah dimurkaiNya, kita malah semakin terbuai dan mabuk oleh cinta dunia. Padahal ridho Allah adalah segalanya. Dibandingkan dengan apa pun dimuka bumi ini”
“Hmm.. jadi kita tak boleh jatuh cinta ya Ustadz?”
“Bukan begitu. Bukan jatuh cintanya. Tapi, apakah perilaku kita tersebut diridho oleh Allah atau tidak?
Apakah Ia senang atau kah Ia malah murka pada perilaku kita tersebut?”
Dialog kedua orang tersebut menyelusup lesat ke dalam bilik dengarku, melaju cepat ke relung kalbuku, menghentak-hentak sanubariku, melesak-lesak ............ku. Tiba-tiba dadaku terasa sakit dan nafasku sesak. Pandanganku mengabur dan.......
“Ri.. istighfar, Dek! Istighfar, Dek!” lamat terdengar suara Teh Nanan di dekat telingaku. Segelas air minum tersodor. Setelah kerongkonganku basah, kuusap wajahku.
“Astaghfirulloh....” lirihku.
Ya Allah... Ampunilah Aku....
* * *

Kututup Al Qur’an mungil di tanganku. Ku letakkan dengan hati-hati di meja kecil di samping tempat tidurku. Ya.. Allah.. berapa lama Al Qur’an itu tak kusentuh? Sepertinya sejak Aku mengenal Ranes dan berpacaran dengannya sebulan yang lalu. Hanya sebulan. Tapi rasanya bak bertahun-tahun tak menyentuhnya.
Bulan sabit Romadhon membayang di kaca jendela kamar kostku. Terpantul pula wajahku yang masih berbalut rukuh mukena di sana.
Ya Robb... lihatlah Aku kini! Ini hari keempat Aku melewati Romadhon dengan deraian airmata. Menyesali semua yang terjadi. Menyesali kebodohanku. Telah kuberikan cintaku padanya, namun Ia mencampakkanku. Kuakui Ia memang bukan lelaki yang baik untukku. Aku pun tak pernah sungguh-sungguh mencintainya. Namun, Ya Robb... maafkanlah Aku! Ampunilah Aku! Atas waktuku yang tersia-sia kala bersamanya, memikirkannya, merindukannya.
Aku malu denganMu.. malu dengan jilbab yang kukenakan.. Betapa bodohnya Aku yang mencari cinta yang lain, dikala Kau berikan Aku cintaMu yang tiada taranya. Aku malu denganMu.. malu dengan jilbab yang kukenakan.. Betapa lemahnya Aku yang berfikir telah mendapatkan kasihMu kala aurat ini sudah mulai kututupi. Ternyata hidayahMu lebih besar kepadaku.
Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. Setelah mengikuti kultum hari itu, Aku selalu merasa malu pada diriku sendiri. Aku hanya ingin berada di mushola kampus sepanjang hari. Bertemu rekan-rekan yang selalu saling memberi salam dan nasehat. Yang selalu memberi cinta tulus mereka yang tak memabukkan, namun menenangkan. Karena mereka mencintaiku karena Allah semata. Bukan karena kecantikan dan kemolekan fisik semata.
Sejak saat itu, tiada lagi airmataku tertumpah sia-sia. Kecuali di kala Aku berusaha mengingat kesalahan, kebodohan dan dosa-dosa duniaku. Sejak saat itu, Aku yakin bahwa hidayahNya telah datang menghampiriku. Hidayah yang telah lama kutunggu. Jauh sebelum Aku mengenal cinta Ranes dan lainnya.
Ya Robb... terimakasih. Aku berjanji akan selalu berusaha menjaga hidayah ini di hidupku. Ya Robb.. Kan Kugenggam hidayah ini erat-erat selamanya. Ya Robb... dengarkan dan kabulkanlah permohonanku ini. Aamieen..
_Selesai_

Tulisan ini telah dimuat pada Tabloid Serambi Ummah