Rabu, 30 September 2015

Pohon-Pohon Sesawi

Pohon-Pohon Sesawi

Kisah Syahdu Hamba Abdi Tuhan






Judul               : Pohon-pohon Sesawi
Penulis             : Y.B. Mangunwijaya
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal               : 123 halaman
Harga              : Rp 10.000 buku diskon TB Gramedia Veteran Banjarmsin (Aslinya tak diketahui)

Termulakanlah....
Ini adalah buku kedua karya Romo Mangunwijaya yang saya baca. Sebelumnya –enam tahun yang lampau- Saya pernah membaca kumpulan cerpen beliau Rumah Bambu (terbitan KPG, tahun 2000). Meski pada pengantar di belakang buku disebutkan bahwa ini adalah karya terakhir Romo Mangun,  kenyataannya novel Pohon-pohon Sesawi ini telah terbit sebelum kumpulan cerpen Rumah Bambu.
Tersebablah....
YB Mangunwijaya adalah seorang Romo (pendeta) yang gemar menulis. Setidaknya itulah pendapat saya tersebab cukup banyaknya karya tulis beliau baik berupa fiksi maupun non fiksi yang telah beliau hasilkan. Tak heran bila karya-karya beliau selalu penuh dengan nilai-nilai kebajikan dan selalu bernuansa reliji meski terbungkus gaya yang sederhana, dramatik dan tak sedikit berbumbu humor. Hingga akhir hayatnya, beliau telah menghasilkan sepuluh buku karya fiksi termasuk novel.
Tertorehlah....
Pada awalnya, Yunus alias Rahadi tak begitu senang dengan nama pemberian orangtuanya. Meski pun ia telah mendengar kisah heroik Nabi Yunus kala dilemparkan dari kapal hingga masuk ke perut ikan, tetap saja ia menganggap sang Nabi Yunus adalah nabi paling sinting meski pun juga paling simpatik. Untunglah ia diberi nama baptis yang lebih keren (menurut Yunus) oleh pamannya, yaitu : Yohanes, sang pembaptis.
Ibu Yunus, sangat mengharapkan ia seperti Samuel, seorang nabi untuk kaum Israel yang cukup ‘terpandang’ bagi pemeluk Kristiani tersebab namanya disebutkan sebanyak 134 kali dalam alkitab. Samuel adalah pemimpin yang demokratis, profesionalis dan agamis. Namun kenyataannya Yunus hanyalah hamba biasa yang punya banyak kekurangan.
Selanjutnya, Yunus bercerita tentang pengalaman unik dan lucu sebagai seorang pendeta. Tentang seorang frater bernama Gembong yang ditugasi membimbing legio ibu-ibu (dalam pemahaman saya, legio ibu-ibu ini mungkin seperti majelis ta’lim ibu-ibu muslimah yang dibimbing okeh seorang guru agama seperti ustadz atau ustadzah). Salah satu peserta legio adalah wanita bertubuh besar bernama Aluisia Kisminingsih. Wanita ini masihlah gadis alias perawan tanpa suami meski usianya sudah tak remaja lagi. Tersebab perjumpaan yang intens dalam legio, sang frater dan sang anggota majlis akhirnya saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Dilema pun terjadi. Mengingat sang wanita bertubuh ‘cukup’ besar sementara sang frater termasuk bertubuh mungil, maka gosip tak sedap tak terhindari tersiar keseantero majelis. Hingga akhirnya Romo Yunus berinisiatif untuk memanggil langssung Alusia dan Gembong untuk diintrogasi. Namun pada akhirnya cintalah yang menjadi pemenangnya. Tak peduli perbedaan fisik, status, dan omongan orang, pernikahan tetap dilangsungkan.
Romo kemudian bertutur tentang betapa anehnya orang yang merendahkan wanita namun tanpa sadar tak dapat mengelak dari sikap mereka yang selalu membutuhkan wanita dalam kehidupan sehari-harinya. Tentang ‘kekacauan’ lakon natal yang diperankan oleh para suster muda, tentang menornya dandanan para wanita yang menghadiri misa di gereja hanya karena gengsi dalam berpenampilan, tentang ide ‘konyol’ seorang pastur agar dalam khotbah hendaklah menggunakan bahasa latin sebagai bahasa asli injil diturunkan hanya agar terkesan ‘prestisius’ di mata umat (seperti umat Islam dengan bahasa Arab-nya dan umat Hindu dengan Sansekertanya). Namun ide ini justru terkesan aneh karena kenyataannya bahasa Latin tidaklah melulu indah dipendengaran umat/jamaah Indonesia.

Terikhtisarlah...
Kata ‘Pohon sesawi’ memang asing bagi orang Indonesia, namun pohon ini ada dikisahkan dalam injil. Dari pengetahuan saya yang amat minim tentang pohon sesawi ini sendiri, saya menyimpulkan bahwa dalam novel singkat berjudul ‘Pohon-pohon sesawi’ ini, Romo Mangun agaknya hendak berbagi kisah masa kecil-remaja hingga dewasa yang pernah beliau alami. Terutama tentang pergulatan batin, keimanan, keagamaan yang beliau dapatkan.
Dalam Novel Pohon-pohon Sesawi amatlah banyak nilai-nilai kebajikan tentang kesabaran, ke-optimisan, kepasrahan dan keikhlasan dalam menjalani hidup. Novel ini dituliskan dengan gaya humor yang apa adanya, menyentil, mencerahkan pemikiran dan menambah kekayaan jiwa.


-selesai-

The Last Window Giraffe

The Last Window Giraffe
Sang Diktator dalam Kamus Sejarah Hongaria




Judul               :The Last Window Giraffe- Hari-Hari Terakhir Sang Diktator
Penulis             : Peter Zilahy
Penerbit           : Penerbit Bentang-Lini Bentang Pustaka
Tebal               : vii + 186 halaman
Harga              : Rp 30.000

Termulakanlah....
Informasi singkat tentang buku ini pernah saya dapatkan pada majalah Matabaca terbitan PT Gramedia (kini majalah ini sudah ‘Tamat’). Disebutkan bahwa buku ini bagai sebuah ensiklopedi yang memberi informasi (baca bercerita) tentang peristiwa demonstrasi besar di Belgrade- Hongaria.
Sebagai orang yang belum banyak mengenal Belgrade apalagi negara Hongaria (atau Hungaria?), tak ayal kata ‘diktator’ pada sampul buku ini menerbitkan rasa penasaran Saya.

Tersebablah....
Novel ini ternyata telah meraih penghargaan ‘Book of Year Prize Ukraina’ pada tahun 2003. Dan telah pula diterjemahkan  ke dalam 19 bahasa. Sang penulis, Peter Zilahy adalah sastrawan muda serba bisa. Ia tak hanya piawai menulis prosa, namun juga puisi. Selain itu ia juga merupakan fotografer handal yang juga jago bermain teater. Tak heran buku ini penuh dengan gambar dan foto yang unik dan menarik, meski tak satu pun ada keterangan mengenai pemilik, fotografer foto atau pelukis yang menyumbangkan gambar-gambar dalam buku ini.

Tertorehlah....
November 1996, rakyat turun ke jalan-jalan. Kekecewaan akan penguasa Yugoslavia yang memanupulasi hasil pemilu merupakan pemicunya. Sekejap saja sudah terjadi kekacauan di mana-mana. Chaos menjadi hal yang tak terelakkan. Rakyat berharap Sang Diktator, Slobodan Milosevic, turun dari tahtanya.
Polisi anti huru-hara, militer, wartawan, hingga anak-anak dan perempuan ‘teraduk-aduk’ dalam pusaran demonstrasi yang digawangi oleh kaum muda dan mahasiswa. Kastil Belgrade yang pernah menjadi salah satu rampasan kekasairan Ottoman Turki menjadi tempat ‘favorit’ rakyat yang ingin menyaksikan demonstrasi dari ketinggian. Peter pergi menuju Belgrade dengan kereta api ekspress meski tahu kondisi di Belgrade sedang tidak kondusif. Dan setibanya di Belgrade, Peter terlibat demonstrasi yang brutal dan anarki.

Terikhtisarlah....
Peter berkisah tentang penderitaan rakyat akibat ulah diktator tanpa satu pun kata bernada ratapan. Pada kenyataannya, dalam buku ini Peter lebih banyak bercerita tentang negeri indah yang terkotori oleh tangan-tangan penguasa lalim. Bahwa demonstrasi dan penggulingan tahta kekuasaan bukanlah akhir dari segalanya. Bahwa sejarah yang terukir pada saat itu hanyalah pengulangan dari sejarah kelam Belgrade dan Yugoslavia di masa lalu. Lewat kisah bangsa Magyar, Rusia, Mongolia, hingga Turki, Spanyol dan sejarah-sejarah bangsa Eurasia lainnya, Peter mengajak pembacanya untuk merenungi besarnya kerugian akibat chaos, demonstrasi dan kerusuhan besar-besaran, karena kekecewaan rakyat terhadap pemimpin yang lalim dan tak punya hati nurani. Diakhir kisah, Peter menyibak konspirasi di balik demonstasi yang telah terjadi. Bahwa Soros Foundation dan konspirasi internasional adalah dalang di balik semua kerusuhan yang ada.


-selesai-