Senin, 28 November 2011

Impian Dari Desa


Impian Dari Desa

Oleh : Khoiriyyah Azzahro

Terduduk Ia melepas penat yang semakin terasa pada kedua kakinya. Mata sayunya menyiratkan keletihan yang amat. Sesekali diusapnya wajah yang berpeluh penuh. Sebatang rokok disodorkan dari samping. Dengan lunglai diraihnya jua. Sejurus kemudian, asap mengepul dari mulut dan hidungnya.
“Sampai tebila kita di sini, Mas?” sejurus tanya terdengar.
Ia tolehkan wajah ke lelaki berumur dua puluhan di sampingnya.
“Ya ndak tau ! Mungkin sampai besok, mungkin sampai seminggu, sebulan… Kenapa? Kamu sudah bosan? Sudah capek? Weis.. tidur sana!”
Anak muda kok ndak punya semangat?!
Ia menggerutu dalam hati.
Baru segini sudah capek! Bosan!
Masih saja Ia menggerutu sendiri dalam hati.
“ Ya.. kada kayaitu, Mas ay! Soalnya Saya sudah bilang sama bini dan anak di kampung, kalau Saya kada lawas ninggalin mereka di desa. Mas tau kan.. Ramlah lagi hamil tujuh bulan. Kada tega Saya ninggalinnya” tutur lelaki muda di sampingnya.
Dibuangnya rokok yang tinggal setengah. Ditatapnya lelaki di sampingnya. Di desa lelaki ini adalah tetangganya. Masih muda memang.
Baru saja mulutnya hendak berucap, seseorang menepuk pundaknya.
“Mas, ada wartawan, tuh! Katanya mau wawancara dengan salah satu koordinator” Diki tiba sambil tergesa. Di tangannya tergenggam bendera berlambangkan padi dan kapas. Dua benda yang djadikan simbol kemakmuran negri ini.
“Mana?”
“Tuh!” Diki menunjuk dua orang yang sedang ngobrol di dekat pos satpam. Si perempuan memegang tape recorder, sementara si lelaki sibuk bercakap dengan seorang satpam.
Langsung saja dirapikannya pakaian ‘dinas’ putih-putih dengan emblem besar di dada kirinya. Ditambah topi hitam di kepala, menambah gagah penampilannya di siang nan terik itu.
Ia mengkhayalkan potret dirinya terpampang pada halaman depan sebuah surat kabar ibukota. Memimpikan dirinya dielu-elukan warga desa karena berhasil ‘masuk koran’ ibukota.
Akan Kutunjukkan pada semua, sekarang orang desa nda bisa dibodohi lagi! bisik hatinya berapi-api.
“Catat ya, Mba! Kami datang ke ibukota ini dari jam enam kemarin sore dan nginep di masjid ujung sana” masih berapi-api Ia berucap.
“Catat ya, Mba! Kami ke sini dengan duit pas-pasan. Malah ada yang jual ayam dan kambing peliharaannya. Tapi, biar kitu,  kami seneng bisa sampe di sini“
Si ‘Mba wartawati’ mesem-mesem mendengar penuturannya.
“Permisi sebentar, Mba!“ Diki menyela tiba-tiba, menggamitnya menjauhi si wartawati.
“Mas, kayapa pian nih? Jangan nyuruh-nyuruh kayaitu! Malu, Mas!”
“Apanya yang nyuruh? Aku bicara apa adanya to? Biar semua orang tau kalau kita ke sini untuk memperjuangkan nasib rakyat”
“Iya, Mas. Tapi…”
“Permisi, Bapak-bapak! Kebetulan Kami sedang terburu-buru, karena ada hal lain yang juga akan segera Kami liput. Bila Bapak-bapak tak keberatan, dapatkah Saya me-wawancarai yang lainnya saja?”
Ia dan Diki berpandangan sejenak.  “Oke! Sebentar, Mba! Mas Ridwan! Sini, Mas!”
Lelaki yang dipanggil mendekat.
“Mba boleh bicara dengan beliau. Namanya Ridwan. Ia kami percayai sebagai… engapa namanya... eng.. juru bicara! Ya.. juru bicara
Ia segera menjauh saja dari mereka. Weis ya sudah! Ridwan saja! Dia kan pernah tinggal di kota, pernah kuliah. Aku ini emang ndeso. Kampungan. Dari kecil cuma jadi warga transmigran di Kalimantan. Punya orangtua juga kampungan. Dasar nasib!
Lagi-lagi Ia menggerutu dalam hati. Ntah sudah berapa kali Ia menggerutu sepanjang hari ini. Otaknya terasa sesak, semakin sesak, bahkan sebentar lagi mungkin akan segera meledak.
Hah! Meledak ?! Wuah! Jangan! Jangan dulu! Aku kan belum berhasil membuat desaku, negriku, tumpah darahku ini maju. Belum! Hak-hak rakyat desa harus segera diperjuangkan! Hidup kami harus dimakmurkan! Dan impianku harus diwujudkan!
Dilihatnya Pamuji, salah seorang perangkat desa bawahannya, berdiri dan berorasi di depan gedung yang sedang dijaga ketat oleh pagar betis beberapa aparat pengaman.
“Sekarang kita, orang desa, tidak akan lagi menjadi penonton. Kita sudah punya rumah sendiri, Partai XZYW, yang dibangun demi rakyat Indonesia, demi seluruh rakyat desa”
 “Kita tak minta dari para jenderal besar. Kita tak perlu lagi mendengar janji gombal yang selalu diucapkan orang-orang parpol dan tokoh nasional setiap kali pemilu. Dan ingatlah! Partai kita ini, rumah kita ini, kita bangun dan bentuk dari bawah ke atas bukan dari atas ke bawah”
Hebat! Hebat kowe, Ji! Tunjukkin! Tunjukkin pada semua. Kalau kita orang desa juga bisa maju. Kita bisa bangun sendiri desa kita, lewat partai yang kita dirikan ini. Ia bertepuk tangan lalu mengepalkan tangannya tinggi-tinggi ke udara.
Hari ini adalah hari ketiga Ia bersama teman-temannya berunjuk rasa pada instansi pemerintah itu. Hampir empat hari sudah mereka berada di ibukota. Tidur di masjid, mandi dan buang air pun mereka lakukan di wc masjid. Makan? Tak masalah! Ia dan teman-temannya sudah terbiasa ‘berpuasa’. Semuanya demi desa tercinta. Karenanya mereka keukeuh memperjuangkan aspirasi yang lama terpendam.
Ia menengok perlahan ke arah barisan belakang. Lho? Ada apa ya? Kenapa mereka berkerumun seperti itu?
Ada yang pingsan, Mas!”
“Apa? Payah bener?! Baru segini kok ngoyo? Haal…lah!”.  Ingin Ia mengumpat sejadinya. Namun didengarnya perut yang tiba-tiba bersorak mengharap masuknya benda pengganjal. Ia tertegun. Ya, perutnya. Dan bagaimana dengan perut teman-temannya, perut anak istri, keluarga, tetangga, kerabat di desa yang telah tiga hari di tinggalkan?
“Maaf, Bapak-bapak! Rekan-rekan sekalian!” seorang lelaki berseragam dengan beberapa sematan beds di sana sini, berdiri di depan pintu kantor nan cukup megah itu. Di sisi kiri kanannya, berdiri tegap dua orang petugas keamanan.
“Agar masalah tak berlarut-larut, Kami meminta tiga orang utusan dari rekan-rekan guna dipertemukan dengan pihak kami”
Hening sejenak, berpasang mata berpandangan. Lalu…
“Begini, Bapak-bapak pejabat! Semua yang Kami lakukan ini lahir dari nurani rakyat. Kami, orang desa, tak dibayar atau disuruh… apa jar istilahnya? Oya.. ditunggangi oleh pihak mana pun!“ gelegar Slamet berapi-api memenuhi ruang ber-AC yang wangi parfum aerosol itu. Berpasang mata menatapi Slamet dari balik sebuah meja panjang.
“Oh.. begitu. Jadi Bapak-bapak dari desa ini ingin mendirikan partai sebenarnya untuk apa? Kan banyak pilihan dari yang sudah ada. Mengapa tidak diutarakan saja aspirasi Bapak-Bapak pada partai-partai yang sudah ada?” salah seorang yang dipanggil ‘Bapak pejabat’ bertanya dari balik meja. Sembari menatap Slamet lekat.
“Yang mana? Zaman sekarang, apa ada partai yang bisa kami percayai? Apa ada fihak yang benar-benar perduli pada kami? Yang mana, Pak?”
Nada tinggi kalimat tanya Slamet, sukses membuat kuping dan hatinya terasa panas. Di ruangan yang dingin ber-AC itu Ia merasa gerah oleh emosi.
Lalu, fikirannya menerawang. Air mukanya berubah.
“Sudah kami lihat dengan mata kepala kami sendiri. Banyak rakyat desa yang pindah ke ibukota. Tapi di ibukota malah makin susah. Mau berdagang di emperan, dihalau satpol PP. Mau ikut kerja kantoran, tak punya ijazah. Sudah sulit cari uang di desa, eh… di ibukota sama saja. Lalu.. bagaimana? Sementara parpol-parpol yang kami harapkan dapat membangun desa hanya mengumbar janji tanpa kepastian”
Serasa seluruh persendiannya lepas dan otot-ototnya lemas begitu saja usai mengucakan kalimat yang telah susah payah diaturnya tersebut.
“Kami, para kepala dan perangkat desa dapat netral dalam sikap. Meski kami mendirikan partai ini dan menjadi kader di dalamnya” giliran Pamuji berucap.
Ah.. Pamuji, kau emang anak buahku yang cuerrrdass! Omonganmu itu selalu hebat! Ia memuji dalam hati. Namun entah mengapa pandangannya mulai terasa mengabur. Samar dilihatnya tubuh Pamuji yang tiba-tiba limbung ditahan oleh Slamet yang berada di sebelahnya.
“Baiklah, Bapak-bapak! Kami telah menangkap maksud Bapak-bapak sekalian. Selanjutnya…”
Buuk!!!
Tubuh limbung Pamuji ambruk ke lantai secara tiba-tiba. Beberapa orang menoleh untuk mencari tahu sumber suara yang amat mengejutkan seisi ruangan tersebut.
Ia ikut menoleh pula. Meski hanya mendapati ribuan kunang-kunang pada kedua pandangannya. Dan sebelum  berhasil mendekatkan diri dengan arah suara, Ia merasa sekitarnya berputar.
Lalu Ia teringat kembali pada perutnya, perut rekan-rekannya, perut handai taulannya, yang tak terisi selama empat hari ini. Ingatannya terbang pada anak istrinya di desa. Mereka pasti berharap Ia dan rekan-rekannya kembali ke desa dengan rezeki dan duit yang banyak. Ia pun masih mengingat padi dan kapas, lambang kemakmuran, partai mereka kelak. Ia masih ingat pula pada Pamuji yang jago berbicara serta retorika, bak Bung Karno. Pada Slamet yang lihai bercakap dengan banyak orang, bak diplomat. Serta pada semangat yang selalu dimilikinya.
Ya.. Ia ingat semuanya. Sebelum gelap menguasainya sekejap kemudian dan tubuhnya terkulai pada licinnya lantai gedung ber-Ac dan wangi aerosol itu.

Banjarmasin, 11 July 2008-2011

 Telah dimuat pada Harian Radar Banjarmasin, edisi 27 November 2011


Jumat, 25 November 2011

Bukan Sekedar Wisata

Oleh : Khoiriyyah Azzahro

Mentari belumlah tinggi. Tetes-tetes embun masihlah bersisa. Membasahi rerumputan di halaman rumah, menggenangi jalanan setapak di gang yang berlubang. Aku bergegas-gegas menuju depan gang. Menggenggam payung yang belum terbuka di kanan kiri, berjingkat lebar tanpa alas kaki. Di belakangku menyusul Rina, adik perempuanku yang bongsor dan cukup endut. Turut berlari menjejari langkahku. Dan tatkala kami tiba di depan gang, senyum dan tawa bocah-bocah menyambut riang.
“Ayo,Cil1)! Sini, Cil!” tangan Ema kecil menarik baju kurungku. Mengajak mendekat pada sebuah angkot colt berwarna kuning.
Lakasi, Cil2)!” Ema kecil yang masih keponakanku itu menyeru untuk lebih bergegas memasuki angkot yang kini telah di hadapanku.
Kujulurkan kepala melalui pintu colt. Wuaaah.... seluruh kursi deretan kanan telah penuh oleh keluarga besar gulu3) Anun. Ada Kak Ipit dan kedua anaknya –Ema dan Baiti-, Umar, Abaw, Reza –ketiganya adalah sepupuku, dan gulu sendiri. Tampaknya mereka hanya menyisakan deretan kiri untukku, uma4), Rina dan Arul, keluarga intiku.
“Ayo geseeeer....” seru Acil Anal yang tiba-tiba nyelonong masuk ke dalam angkot colt. Aku mengekor di belakang dan ikut berjejal di dalam angkot colt.
Tak hanya sebuah colt, di sisi kanan terparkir sebuah van merah dan landrover hijau. Kegaduhan yang terdengar di dalamnya membuatku mampu menebak siapa pemilik dan penumpang kedua jenis angkutan tersebut.
Van merah pastilah kepunyaan Acil Imin, adik uma-ku. Penumpangnya pasti para sepupuku yaitu Ani dan keduanya anaknya, Ijah juga Ida. Dan tak mungkin ketinggalan, Amang5) Azis, suami Acil Imin. Sementara landrover hijau tentu milik Mansyah, amang ‘jauh’-ku yang tak lain adalah abah dari Baiti. Maka, penumpangnya tentu ada Ardiansyah, saudara dari Mansyah beserta istri beliau dan si kecil Rakha. Juga ada si kembar Abdul dan Abdil disertai orangtuanya yang tak lain adalah saudara kandung Mansyah. Mereka kusebut ‘amang jauh’ karena hubungan kekerabatan yang agak jauh. Orang tua Mansyah adalah nini acil-ku, atau saudara kandung nini6)-ku. Beginilah keluarga besarku. Teramat panjang bila diuraikan satu persatu.
Mentari belumlah tinggi. Tetes-tetes keringat mulai terasa. Membasahi jilbabku, membasahi pelipis Umar, membasahi ujung kain Kak Ipit. Gerrraaaahhh.....!!!
“Hayu! Tarik Maaannn......!!!” teriak Umar di pintu colt.
Dug! Dug! Dug!
Umar menepuk badan colt persis seperti kernet angkot. Lalu... meluncurlah colt kuning yang kutumpangi beserta van merah dan landrover hijau di belakangnya.
Inilah rombongan keluarga besarku yang turut menyesaki jalan raya Kota Banjarmasin di hari kedua lebaran Idul Fitri tahun ini. Meski kini tidak seluruh anggota keluarga dapat turut serta, namun bepergian ke luar kota di hari kedua lebaran telah menjadi ritual dalam keluargaku.
Tapi, kami tak sekedar bepergian guna cuci mata atau wisata lho.... Ritual ini adalah untuk mengunjungi makam kai7) dan nini kami yang letaknya nun jauh di kilometer 23 Kota Banjarbaru. Karena letaknya yang amat jauh, kami hanya dapat mengunjunginya sekali dalam setahun. Biasanya di hari fitri. Seperti yang tahun ini Kami lakukan.
Sepoi angin menerpa wajah-wajah segar di hadapanku. Gemeretuk gigi ramai beradu. Mengunyah kacang goreng, kue kering, biskuit, kerupuk, permen karet juga tusuk gigi... (Kasihan betul.. Tak kebagian penganan ya?? He he..). Hingga obrolan ngalur ngidul tentang Si Anu, Si Ono, Si Eno... (hi hi..). Tak perlu lagu atau musik. Tak juga audio dan video.
Cerita mengalir seperti air. Tentang kabar adikku, Rina, yang memang sekali setahun baru pulang ke Banjarmasin karena kuliahnya di Samarinda belum kelar-kelar juga. Tentang Ema yang ‘kehilangan’ gigi susunya saat di sekolah. Tentang Si Reza yang rela jalan kaki pulang pergi sekolah. Hingga tentang pemenang arisan minggu ini dan gosip artis televisi. Duuh.... berisiiiiik....
Hingga dari kejauhan tampaklah dua gapura tinggi besar berwarna merah bergambar lambang salah satu partai. “Okey... semuanya. Bersiap-siaplah!” seru Rina.
Lalu...                                                                                                          
Dag! Dug! Ngeok.... Ngeok.... Kejedag! Kejedug!
Colt yang kami tumpangi bergoyang ke kanan kiri bak mabuk kepayang. Terombang ambing. Meliuk-liuk. Mengocok perut, mengguncang dada, mengaduk rasa.
“Ha ha... “
“Hi hi...”  Tawa renyah para keponakan merebak.
“Husy! Bebacaan!!” seru Kak Ipit sambil komat kamit baca mantra (Eh, salah! Berdzikir!)
Aku dan uma sibuk berpegangan pada dinding colt. Umar merem melek. Reza teratuk-atuk. Abaw dan Arul sibuk mengaduh. Pokoknya semua turut terombang ambing bak berada di dalam kapal yang diterjang badai tsunami (duueeh... segitunya!). Meski demikian, peristiwa ‘colt mabuk’ inilah yang selalu dinantikan pabila mengunjungi makam kai-nini. Sejak bertahun-tahun dahulu, kala Aku dan Rina masih balita dan kami belum memiliki keponakan sebanyak kini, jalan menuju makam tak pernah diberi aspal. Bahkan taburan pasir serta kerikilnya kian berdebu. Duhai.....
*    *    *
Mentari mulai meninggi. Payung-payung setia menemani. Mengiring langkah kaki selepas membaca Surah Yassin dan do’a bagi jasad di dalam kubur. Meski Aku tak pernah ikut ritual tersebut, Aku selalu senang mengunjungi pekuburan kai-nini-ku. Karena Aku dapat bermain ilalang bersama para keponakan. Kami ber-imajinasi tentang sumur ajaib dan bersama mengucapkan “Open sesame.. Open sesame.. bukalah!”
Setelah para orangtua selesai membaca do’a, Aku dan keponakan berlari kecil menuju angkutan masing-masing. Perut mulai terasa pedih, kaki mulai terasa letih, wajah mulai terasa perih. Ditambah pantat mulai terasa ngilu. Duuh... nasib! Nasib!
Tapi, perjalanan masih panjang. Maka, Umar segera berseru “Tarik, Maaan!!”
Aku mulai memeriksa kembali isi tas dan dompet. Hm... cukup rasanya untuk membeli sebuah bros liontin, sebuah gelang pukah8) dan sebuah parfum konsentrat bebas alkohol. Barang-barang tersebut selalu kuburu pabila berkunjung ke Klampayan.
Klampayan adalah komplek pemakaman Syekh Ahmad Al-Banjari, ulama dan leluhur yang amat termasyur di jagat Kalimantan Selatan. Dalam sejarah Suku Banjar, beliau adalah ulama dari zaman Pangeran Suriansyah yang mempelajari ajaran Islam langsung dari para wali songo dan
pedagang Gujarat (Waaah... kok jadi pelajaran sejarah ya..?).
Kini, makam Syekh Ahmad Al Banjari selalu ramai dikunjungi masyarakat dari dalam dan luar kota. Ada yang sekedar ingin tahu dan melihat-lihat, ada pula yang membacakan do’a-do’a hingga meminta berkah atau karomah. Bagiku sendiri, mengunjungi makam adalah demi mengingat pada kematian. Menginsyafi diri bahwa suatu masa kelak, Aku akan turut berkalangtanah serupa jasad di dalam makam tersebut.
Sebelum memasuki kawasan pemakaman, kami wajib melepas alas kaki dan menitipkannya pada loker khusus penitipan alas kaki. Seluruh alas kaki kami bertumpuk di satu loker. Hiii... bagaimana aromanya tuh...??
Rombongan keluarga besarku segera menuju makam Syekh Ahmad Banjari. Berbaur dengan pengunjung lainnya yang sudah lebih dulu tiba. Mengeluarkan seikat kambang rampai9) lalu menggantungkannya di sisi makam yang berpagar dan berkelambu. Aku memperhatikannya dari kejauhan sebelum segera menuju para pedagang souvenir di sepanjang emperan masjid. Rina pun segera mengejarku.
Sebuah ruang kecil di sisi kiri masjid tempat makam Syekh di penuhi hamparan barang yang dijajakan pedagang lokal. Mulai dari liontin, bros, gelang hingga kayu penunjuk untuk mengaji. Ada yang terbuat dari kayu, rotan, plastik, hingga logam. Ada pula tempat minum dari pelepah pohon atau batok buah dan telur rebus yang pada permukaannya ditulisi huruf-huruf arab atau hijaiyyah. Konon benda-benda tersebut dipercaya dapat menyembuhkan atau meringankan beragam penyakit. Tak lupa foto para guru10) dari zaman Pangeran Suriansyah hingga kini yang jumlahnya puluhan.
Tak satu pun menarik minatku. Tak seperti kala kecil dahulu. Aku selalu membeli liontin perak atau telur rebus warna-warni bertuliskan huruf arab atau hijaiyyah. Maka Aku dan Rina beranjak menuju ruang di sisi luar sebelah kanan. Pada pintu ruang tersebut bertuliskan ‘Perpustakaan’. Eit.. jangan dulu membayangkan tumpukan buku-buku atau katalog-katalog apalagi jejeran majalah atau perkamen-perkamen tua. Karena di ruang ini yang ada bukanlah buku-buku penuh bertulis, melainkan leaflet-leaflet atau brosur serupa buku kecil. Ada pula etalase berisikan kaset-kaset ceramah dari para guru, beragam jenis mushaf Al qur’an, hingga kaligrafi, pigura, tasbih dan minyak
wangi atau parfum tanpa alkohol beraneka jenis. Semua benda-benda itu diperdagangkan.
Nah.. Aku menemukan parfum yang kucari. Aroma melati non alkohol. Di Banjarmasin cukup sulit mendapatkan jenis parfum ini apalagi dengan harga murah. Rina memilih parfum beraroma ‘Hajaral Aswad’, mawar dan camomile. “Ngeborong neh?” celetukku. “He he...” Rina tertawa saja.
Beranjak dari ruang seukuran kurang lebih tujuh kali tiga meter itu, Aku dan Rina langsung berpapasan dengan Acil Anal dan Acil Imin yang tersenyum-senyum sembari ngobrol. Ema dan Baiti berlari-larian dengan Jailani dan Aldi. Oya.. Jailani dan Aldi juga dua keponakanku. Di awal keberangkatan mereka memang menumpang di van merah Acil Imin.
“Mandi ya?” ujar Kak Ipit pada Ema. Yang ditanya manyun saja. Tapi kala Kak Ipit mulai melepas bajunya, Ema diam saja.
Seluruh rombongan beranjak menuju ruang pemandian kecil di ujung timur. Tumpukan plastik berisi air bunga menyambut kami. Kak Ipit, Acil Imin, Acil Anal, Uma dan Abahku meraih plastik tersebut. Tapi Aku dan Rina mengekor saja di belakang Uma.
Konon air bunga tersebut dapat mendiamkan anak yang rewel dan bandel. Atau menyegarkan fikiran dan menyehatkan. Aku sih sebenarnya juga percaya. Benar kan.. Air memang sumber kehidupan, menyehatkan dan menyegarkan. Tapi, Aku tak akan meniatkan apapun kala menyiramkannya ke wajahku. Sekedar untuk mengambil manfaat asli air yang memang diciptakan Tuhan untuk penghuni alam semesta.
Byuuuurr!! Segaaarr!
Nah, usai mencuci badan, Kami bersegera menuju sebuah mushola kecil di dekat parkiran. Karena waktu Dzuhur telah lama terlewatkan.
Cuci mata sudah, cuci muka juga sudah, cuci jiwa lewat sholat pun sudah. Tapi... belum cuci perut nih.... Maksudnya mencuci perut dengan mengisinya sampai kenyang... he he...!!
“Ayo... yang mana? Yang mana?”ujarku.
“Apanya yang mana?” tanya Kak Ipit.
“Warung yang mana? Sebelah mana? Mau yang mana? Di sana ada rawon. Di sini ada sate kambing. Di onoh ada soto tuh... Ayo yang mana?” canda Abah, membuat Ema, Baiti dan Jailani
tergelak.
Hm... Cap Cip Cup... Cap Cip Cup... kembang kuncup. Pilih mana yang mau di cup! He he.. Akhirnya kami menyerbu warung di dekat sungai.
“Soto, Cil!”
“Sate lah, Cil!”
Aku memesan es jeruk dan Ketupat Kandangan. Es jeruknya sih biasa. Tapi Ketupat Kandangan, emm.. langka di Banjarmasin. Meski tak perlu pergi ke Kandangan untuk dapat menikmati makan bersantan dengan lauk ikan gabus yang gurih ini, tapi Aku sungguh jarang menikmatinya.
“Siapa yang mau emping melinjo? Ayo yang tambah lagi minumnya? Ada kah yang mau sate lagi? Ayo.. ayo..” suara Abah lantang dipenjuru rumah makan. Bak pelayan yang sibuk menawarkan menu. Begitulah Abahku. Sebagai bandar alias tukang traktir makan siang rombongan, beliau selalu jadi orang yang paling ribut. Paman Azis dan Acil Imin saja yang pengusaha tidak seheboh itu. Huu...
Tek! Tak! Tuk! Tek! Tak! Tuk!
Beradu sendok garpu dengan piring. Bertemu kunyah-kunyah gigi dan jilat-jilat lidah. Hii.. ramai nian... Ah, Aku teringat almarhumah nini yang selalu tenang pabila makan. Tak seperti kami, anak cucu cicit keturunan beliau yang selalu ribut.
*  *  *
Mentari condong ke barat daya. Sepoi angin bercanda dengan sinarnya. Kain jilbabku, anak rambut Umar, ujung celana Latief, melambai-lambai tertiup angin. Padahal colt yang kami tumpangi tak teramat laju jalannya.
Dari belakang, sisi kanan dan kiri bahkan dari depan terdengar teriakan “Cil, Mang, timbayi siiii...11)” Langkah kecil berlari kencang menjejeri laju colt yang tak terkira. Sembari tangan terjulur dengan telapak tangan terbuka. “Ciil!! Maang!! Timbayi... Timbayi....”
Beginilah budaya di Klampayan. Setiap mobil atau kendaraan yang lewat untuk keluar dari arah perkampungan Klampayan, pasti akan diiringi, diikuti, dikejar-kejar oleh anak-anak kecil sembari meminta uang. Dan dari setiap mobil yang mereka ikuti akan melemparkan uang-uang receh ke arah mereka.
Budaya meminta uang alias mengemis ini berlangsung sejak dahulu. Sepertinya anak-anak di Klampayan ‘sukses melestarikan’ budaya tersebut. Dalam pemikiran kami dan orang-orang kota lainnya, budaya memberi uang kepada anak-anak bocah Klampayan menjadi hiburan tersendiri. Meski dalam hati terasa miris. Karena bukankah itu berarti Kami orang kota juga punya andil untuk makin memiskinkan mereka dengan budaya tangan di bawah alias meminta-minta.
Aku sering memikirkan itu. Rasanya sungguh aneh bila setiap kali mengunjungi Klampayan selalu ditemui anak-anak peminta-minta. Apakah mereka, orangtua mereka, memang teramat miskin? Ataukah memang mereka malas bekerja? Seiring berjalannya waktu, Aku makin memahami, bahwa tradisi meminta-minta kepada pada pengunjung tersebut telah menjadi budaya turun temurun yang mungkin sulit untuk dihapuskan.
  Akhirnya colt dan van merah kami melaju keluar komplek Klampayan dengan sukses tanpa iringan bocah peminta-minta. Gelak tawa dan kisah ramai terdengar mengingat ulah para bocah peminta-minta yang unik dan lucu.
Tuit! Tuit! Terdengar dering ponsel milik Kak Ipit. “Hey.. ada sms dari abahnya Baiti! Ujarnya : kami mau ke mall, kalian kemana?” teriak Kak Ipit sembari menatap layar ponselnya.
“Kita? Ke Martapura yuuuk!!”
“Ayuuk!!!”
“Ke Sekumpul12) yuuukk!!!”
“Ayuuukk!!”
“Makan lagi yuuuk!!”
“Ayuuukkk!”
“Ha ha ha...”
Nah... ternyata keletihan tak pernah menjadi penghalang bagi kami. Maka, colt pun melaju ke timur menuju Martapura.
*   * *
Mentari makin condong ke Barat. Namun masjid megah berkubah hijau toscha itu membasuh teriknya. Setelah colt kuning terparkir aman, Aku dan para perempuan dari rombongan berhamburan menuju ke sisi kiri. Melepas sepatu pada penitipan. Lalu berlarian menuju ruang toilet dan ruang berwudhu perempuan.
Bagai orang yang lama di pandang tandus, Aku menguyur tubuhku dengan penuh kenikmatan. Begitu pula Kaka Ipit dan Acil Anal. Bahkan mereka menyempatkan diri untuk mandi. Selanjutnya kami melaksanakan Sholat Ashar berjamaah di masjid megah itu dengan khusyuk. Masjid Martapura yang bernama Al Karomah dan terletak tepat di tengah-tengah kota tersebut menjadi ciri kota yang berjulukan ‘Serambi Mekah’ tersebut. Kubahnya yang indah dan keadaannya yang selalu ramai menjadi ciri khas.
Setelah sholat, Kami berkeliling Pasar Martapura yang letaknya tepat di sekeliling masjid. Rombongan berpencar membuat kelompok-kelompok kecil. Aku, Rina dan Uma menuju toko perhiasan perak yang menjual kerajinan tangan asli buatan warga setempat. Sejak dahulu, Martapura sebagai kota penghasil intan selalu ramai dikunjungi orang. Selain menawarkan perhiasan yang unik dan beragam, harganya juga jauh lebih murah daripada di Kota Banjarmasin.
Aku dan Rina memilih gelang perak bertabur manik bebatuan warna warni. Harganya hanya tujuh ribu rupiah. Lebih murah dari gelang plastik yang seharga sepuluh ribu. Bahkan gelang pukah yang kadang mencapai dua puluh ribu rupiah. Dan ketika seluruh rombongan telah kembali menempati kursinya colt, pergelanganku dan Rina menjadi pusat perhatian semuanya.
Baiti membeli tas rajut unik, Arul memborong gelang pukah, Reza mengacung-acungkan chasing ponsel terbarunya, Umar sibuk menyantap jejaruk kegemarannya, Acil Anal membelikan tas kecil untuk Kiki, anak beliau yang tidak turut serta, dan Kaka Ipit bercerita tentang proses tawar menawar yang telah di alaminya.
Berisiiiik... tapi, heboh dan seru. Tak peduli mentari mulai letih menatap, tak peduli angin yang mulai perih menerpa, tak peduli gelap mulai riang mengintip. Terdengar kembali gigi yang beradu mengunyah permen karet, kacang goreng dan kue kering. Terlihat kembali wajah-wajah penuh debu dan keringat.
Colt terus melaju tak berhenti. Memasuki Kota Banjarmasin yang penuh polusi. Menapaki malam yang tiada permisi. Hanya satu yang paling terjaga di antara kami, yaitu Pak Supir. Hi hi kasihan juga beliau.....
“Sampaaaaiiiiii....Uuyy!! Sampai uuuyyy!!”
“Banguuunnn! Sampaiiiii”
Satu persatu teriakan terdengar. Membuka mata dan fikir yang lelap meski sekejap saja. Ah... rupanya kegelapan telah membuai kami dalam mimpi. Hingga tak menyadari bahwa laju colt telah terhenti dan kini terparkir rapi di depan gang.
Langkah-langkah gontai menjejak tanah Bumi Antasari13). Menuju kanan dan kiri. Menggenggam payung, rantang, kantong plastik dan topi. Lalu sebelum menuju kediaman masing masing kami saling melambai.
“Woiii... jangan lupa!! Besok kita ke rumah julak14)!” teriak gulu. Ah ya.. besok... malam ini? Tertinggal letih, penat dan kantuk.
Mentari tiada lagi. Tetes-tetes embun belumlah menjadi. Menanti diri segar kembali. Sebelum berjumpa esok hari. Kutatapi rembulan sabit awal Syawal. Semoga Tuhan berkahi tingkah Kami hari ini. Aamiin......
Bumi Antasari, Awal Dzulqaidah 1430 H
Khoiriyyah Azzahro
Keterangan :
1)      Cil (Acil) : tante, Bu’de
2)      Lakasi : Cepat
3)      Gulu : tante, Bu’Le atau Om, Pak Le (anak tertua kedua dalam silsilah keluarga)
4)      Uma : Ibu, Mama
5)      Amang : Pak De (anak yang lebih muda dalam silsilah keluarga)
6)      Nini : nenek
7)      Kai : kakek
8)      Pukah : kayu dari pohon yang dipercayai tumbuh di arab dan sering dijadikan obat di zaman rosulullah.
9)      Kambang rampai : kembang yang direnteng atau dironce
10)  Guru : sebutan para santri Martapura untuk pengajar atau ustazd penceramah
11)  Timbayi sii : lempar dooong!
12)  Sekumpul : kawasan tempat tinggal santri dan para guru/ustadz pengajar pesantren Martapura
13)  Bumi Antasari : Sebutan untuk Kota Banjarmasin sebagai kota kelahiran Pangeran Antasari
14)  Julak : Bu’le dan Pa’le (anak tertua dalam silsilah keluarga)

Note : tulisan ini perna diikutsertakan pada lomba menulis kenangan liburan yang diselenggarakan oleh milis sekolah kehidupan. namun tak memenangkan satu juara pun. hehehe...