Oleh : Khoiriyyah Azzahro
“We are the class, they couldn’t teach,
‘cause we know better”
(kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami
memahami secara lebih baik)
Bait syair yang dipetik dari
lagu Born in The 50’s oleh kelompok The Police di atas pernah menjadi ‘ruh’
bagi kaum muda di negeri Barat. Syair yang telah mewakili keresahan jiwa kaum
muda yang terjajah oleh kapitalis karena ‘menggerogoti’ perekonomian,
kemanusiaan hingga harga diri kaum muda pada era 1950-1960 tersebut hadir di
tengah kesadaran kaum muda akan tindakan refresif yang sepenuhnya dikendalikan
oleh kapitalis.
Kaum muda masa itu amat
menyadari bahwa masyarakat kapitalislah yang telah melanggenggkan penindasan
pada arus hubungan ekonomi bangsa. Yang dampaknya dapat meluas ke aspek dan
lini kehidupan lainnya.
Bagaimana dengan bangsa
Indonesia? Apa yang terjadi dengan kaum mudanya dan para kapitalis yang selalu
menguntit mereka?
Sejak reformasi digulirkan,
telah banyak ruang ekspresi yang diberikan kepada kaum muda negri ini. Mulai
dari perubahan struktur pemerintahan dengan diberikannya kesempatan bagi kaum
muda untuk menduduki posisi strategis seperti pimpinan komisi, pimpinan fraksi
bahkan pimpinan dewan, hingga ke lahan eksekutif dengan diisinya jabatan mentri
dan kepala daerah oleh para kaum muda. Dan kini, setelah sepuluh tahun berlalu,
apakah jabatan politis yang telah kaum muda duduki tersebut telah mampu
melepaskan negeri ini dari kungkungan kapitalis lewat beragam produk budayanya?
Kenyataannya, kaum muda yang
telah menjadi politisi di berbagai bidang dan ruang tersebut lebih betah
menyaksikan akrobat ‘artis selebritis’ di media cetak dan elektronik daripada
bergerak membenahi persoalan rakyat yang teramat kompleks. Lihatlah ketika
rakyat menderita akibat bencana lumpur Lapindo misalnya, politisi muda lebih
memilih melakukan kompromi dengan pengusaha terkait ketimbang gigih
memperjuangkan hak-hak rakyat. Kemudian ketika beberapa rekan mereka yang
‘tersandung’ kasus asusila atau ‘bidikan’ tim pemberantas korupsi, mereka, para
politisi muda tak ada satu pun yang menanggapi, sebaliknya mereka terkesan
tutup mata dan kuping terhadap kasus rekan mereka sendiri.
Ditambah pula dengan pola
hidup beberapa politisi muda yang lebih menyenangi mengkonsumsi produk luar
negeri ketimbang olahan industri dalam negeri. Mulai dari kebutuhan elektronik
–yang memang belum sanggup diproduksi oleh negeri ini- hingga pangan bermerek
yang mereka konsumsi saat menggelar rapat atau diskusi di restoran dan hotel
mewah berkelas internasional. Lalu ketika hasil tambang, perkebunan, hutan dan
sumber daya alam Indonesia lainnya dikeruk habis-habisan oleh pengusaha asing,
para politisi muda ini malah tenang-tenang saja.
Tak salah bila Yusuf Qardhowi
pernah berkata “Hari ini kita menyaksikan
bagaimana kapitalisme telah wujud dalam bentuk kolonialisme peradaban yang
sempurna. Dimana negeri-negeri jajahan tidak merasa diri mereka sebagai bangsa
yang terjajah, karena yang dijajah bukanlah fisik secara langsung, melainkan
pemikiran, perilaku dan budaya”
Bila ini terus berlangsung,
bukan tak mungkin harapan yang telah disandarkan kepada kaum muda, baik yang
telah maupun yang belum atau tidak menjadi politisi di negeri ini, menjadi
mentah dan berbalik pada rasa pesimis. Dan kaum tua kembali ‘ngotot’ untuk
kembali tampil dan berjuang dengan cara lama konservativ mereka.
Di awal perhelatan pesta
demokrasi pemilu tahun 2009 ini, kembali bertaburan wajah baru maupun lama dari
kalangan kaum muda yang mengkampanyekan diri mereka sebagai calon politisi muda
yang nantinya akan menduduki kursi legislatif maupun eksekutif negeri ini.
Maka, alangkah bijak pabila kita, masyarakat yang nantinya akan mereka pimpin,
mulai menilai, mencermati serta mengawasi sepak terjang politik mereka. Apakah
mereka akan menjadi pengusung bagi tercapainya perekonomian kerakyatan, ataukah
malah membela para pemilik modal negeri kapitalis internasional? Apakah para
calon politisi dan pemimpin muda negeri ini lebih senang plesir ke luar negeri
atau giat berjuang memajukan budaya dan pariwisata negeri sendiri?
Dengan seluruh harapan yang
masih ada, marilah –lewat mata hati yang terbuka- kita cari calon politisi muda
yang mampu menjadi tameng dalam menghadang serbuan ragam bentuk produk budaya
kapitalis, sekaligus pengusung garda terdepan produk budaya negeri sendiri.
Demi masa depan negeri yang lebih baik lagi. Aamin.
Penulis adalah pengamat sosial dan
anggota Sanggar Sastra Remaja Indonesia Samarinda