Selasa, 03 Juli 2012

Dicari : Politisi Muda Anti Kapitalis



 
Oleh : Khoiriyyah Azzahro


“We are the class, they couldn’t teach, ‘cause we know better”
(kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami memahami  secara lebih baik)

Bait syair yang dipetik dari lagu Born in The 50’s oleh kelompok The Police di atas pernah menjadi ‘ruh’ bagi kaum muda di negeri Barat. Syair yang telah mewakili keresahan jiwa kaum muda yang terjajah oleh kapitalis karena ‘menggerogoti’ perekonomian, kemanusiaan hingga harga diri kaum muda pada era 1950-1960 tersebut hadir di tengah kesadaran kaum muda akan tindakan refresif yang sepenuhnya dikendalikan oleh kapitalis.
Kaum muda masa itu amat menyadari bahwa masyarakat kapitalislah yang telah melanggenggkan penindasan pada arus hubungan ekonomi bangsa. Yang dampaknya dapat meluas ke aspek dan lini kehidupan lainnya.
Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Apa yang terjadi dengan kaum mudanya dan para kapitalis yang selalu menguntit mereka?
Sejak reformasi digulirkan, telah banyak ruang ekspresi yang diberikan kepada kaum muda negri ini. Mulai dari perubahan struktur pemerintahan dengan diberikannya kesempatan bagi kaum muda untuk menduduki posisi strategis seperti pimpinan komisi, pimpinan fraksi bahkan pimpinan dewan, hingga ke lahan eksekutif dengan diisinya jabatan mentri dan kepala daerah oleh para kaum muda. Dan kini, setelah sepuluh tahun berlalu, apakah jabatan politis yang telah kaum muda duduki tersebut telah mampu melepaskan negeri ini dari kungkungan kapitalis lewat beragam produk budayanya?
Kenyataannya, kaum muda yang telah menjadi politisi di berbagai bidang dan ruang tersebut lebih betah menyaksikan akrobat ‘artis selebritis’ di media cetak dan elektronik daripada bergerak membenahi persoalan rakyat yang teramat kompleks. Lihatlah ketika rakyat menderita akibat bencana lumpur Lapindo misalnya, politisi muda lebih memilih melakukan kompromi dengan pengusaha terkait ketimbang gigih memperjuangkan hak-hak rakyat. Kemudian ketika beberapa rekan mereka yang ‘tersandung’ kasus asusila atau ‘bidikan’ tim pemberantas korupsi, mereka, para politisi muda tak ada satu pun yang menanggapi, sebaliknya mereka terkesan tutup mata dan kuping terhadap kasus rekan mereka sendiri.
Ditambah pula dengan pola hidup beberapa politisi muda yang lebih menyenangi mengkonsumsi produk luar negeri ketimbang olahan industri dalam negeri. Mulai dari kebutuhan elektronik –yang memang belum sanggup diproduksi oleh negeri ini- hingga pangan bermerek yang mereka konsumsi saat menggelar rapat atau diskusi di restoran dan hotel mewah berkelas internasional. Lalu ketika hasil tambang, perkebunan, hutan dan sumber daya alam Indonesia lainnya dikeruk habis-habisan oleh pengusaha asing, para politisi muda ini malah tenang-tenang saja.
Tak salah bila Yusuf Qardhowi pernah berkata “Hari ini kita menyaksikan bagaimana kapitalisme telah wujud dalam bentuk kolonialisme peradaban yang sempurna. Dimana negeri-negeri jajahan tidak merasa diri mereka sebagai bangsa yang terjajah, karena yang dijajah bukanlah fisik secara langsung, melainkan pemikiran, perilaku dan budaya”
Bila ini terus berlangsung, bukan tak mungkin harapan yang telah disandarkan kepada kaum muda, baik yang telah maupun yang belum atau tidak menjadi politisi di negeri ini, menjadi mentah dan berbalik pada rasa pesimis. Dan kaum tua kembali ‘ngotot’ untuk kembali tampil dan berjuang dengan cara lama konservativ mereka.
Di awal perhelatan pesta demokrasi pemilu tahun 2009 ini, kembali bertaburan wajah baru maupun lama dari kalangan kaum muda yang mengkampanyekan diri mereka sebagai calon politisi muda yang nantinya akan menduduki kursi legislatif maupun eksekutif negeri ini. Maka, alangkah bijak pabila kita, masyarakat yang nantinya akan mereka pimpin, mulai menilai, mencermati serta mengawasi sepak terjang politik mereka. Apakah mereka akan menjadi pengusung bagi tercapainya perekonomian kerakyatan, ataukah malah membela para pemilik modal negeri kapitalis internasional? Apakah para calon politisi dan pemimpin muda negeri ini lebih senang plesir ke luar negeri atau giat berjuang memajukan budaya dan pariwisata negeri sendiri?
Dengan seluruh harapan yang masih ada, marilah –lewat mata hati yang terbuka- kita cari calon politisi muda yang mampu menjadi tameng dalam menghadang serbuan ragam bentuk produk budaya kapitalis, sekaligus pengusung garda terdepan produk budaya negeri sendiri. Demi masa depan negeri yang lebih baik lagi. Aamin.
Penulis adalah pengamat sosial dan
anggota Sanggar Sastra Remaja Indonesia Samarinda
 dan Komunitas PenaKita Banjarmasin