Oleh : Khoiriyyah Azzahro
Revolusi pemuda telah lama menjadi watak
khas dan arah revolusi Indonesia.
Karena revolusi Indonesia
diawali oleh kesadaran kaum mudanya
(Bennedict
R.O.G Andersen)
Revolusi sering diidentikkan dengan gebrakan perubahan secara mendadak,
tba-tiba dan (terkadang) melalui kekerasan atau pemberontakan. Bagi sebuah negri,
revolusi terkadang menjadi suatu impian dan harapan tatkala beragam cara
rekonsiliasi yang telah diupayakan tak jua membuahkan hasil guna membenahi
keterpurukan kondisi yang ada.
Dengan terpaan krisis multidimensi yang masih menggerogoti negri Indonesia
hingga kini, jargon ‘revolusi’ kembali ramai dikumandangkan. Revolusi menjadi
idaman serta do’a dan harapan seluruh warga bangsa Indonesia.
Seperti ungkapan Bennedict di atas, serta bukti catatan sejarah, maka
selalu ada peran kaum muda dalam jejak demi jejak perjalanan bangsa ini sejak
masih ‘tiada’ hingga ‘ada’. Kaum muda telah menyulut semangat pembebasan negri
dari kebodohan dan ketertinggalan pada 1908 lewat organisasi Budi Utomo, menyatukan negri ini lewat Sumpah Pemuda pada 1928, mengiringi
perjuangan kemerdekaan ’45 lewat partisipasi sebagai tentara pelajar dengan
kibaran semangat nasionalis, hingga menumbangkan kuasa rezim era 1966 dan
menggemakan reformasi di tahun 1998.
Maka disadari atau tanpa disadari, tiap gerakan perubahan negri ini
senantiasa diiringi kiprah kaum mudanya. Mereka telah berhasil membuktikan
eksistensi diri dalam mengawal bangsa ini dan menciptakan revolusi di negri
ini.
Hingga di 63 tahun perjalanan negri ini, kaum muda Indonesia tak hanya
merevolusi namun mereka sendiri telah berevolusi menjadi pengusaha muda,
pegawai dan karyawan muda, penyair muda, jenderal muda, olahragawan muda,
bahkan ustadz dan kiai muda.
Namun, adakah kaum muda berevolusi menjadi pemimpin? Amatilah delapan
tokoh yang kerap disebut media massa
sebagai kandidat pemimpin (baca: presiden) negri ini di tahun 2009 kelak.
Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan
Hamengkubuwono X, Amien Rais, Muhammad Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudoyono,
Sutiyoso dan Wiranto. Lihatlah dari nama-nama tersebut! Adakah satu dari mereka
yang berusia dibawah enam puluh tahun ? Ternyata dari nama-nama tersebut yang
termuda berusia enampuluh tahun dan tertua berusia 69 tahun. Jadi jawabnya?
Tidak ada!
Maka patutlah kita ajukan pertanyaan, apakah dari 120 juta lebih orang
muda yang dimiliki negri ini, tak ada satu pun yang mampu dan layak tampil
sebagai pemimpin? Atau inikah fenomena gerontokrasi yang pernah digambarkan
oleh Michael B. Sterling dalam novel fiksi ilmiahnya Holy Fire (1996) ? Fenomena
pengendalian kepemimpinan oleh kaum tua dan berumur, sementara kaum mudanya
hanya menjadi obyek dan penonton.
Gejala fenomena gerontokrasi ini bila dibiarkan akan menggerogoti
‘kesehatan masyarakat’ bak penyakit kanker. Ia melemahkan dan menghilangkan peran
kaum muda sebagai sumber energi terbesar dan terbaik yang ada pada tubuh
masyarakat. Hingga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu
sendiri, yang kemudian lambat laun menemui kemunduran dan kematian.
Maka, sebelum gejala gerontokrasi ini semakin merajalela, kaum muda harus
segera ‘banting stir’ dan bangkit melakukan gebrakan. Harus ada upaya dari kaum
muda untuk segera menuntaskan pe-er
revolusi yang belum usai, serta mencegah semakin mewabahnya virus gerontokrasi
di negri ini.
Suksesi kepemimpinan semakin dekat. Maka kaum muda selayaknya segera
bergerak demi merebut peluang merevolusi diri dalam kiprah kepemimpinan bagi
negri ini. Bergerak sesuai watak khas kaum muda, meyongsong dan menjemput
revolusi kepemimpinan lewat upaya nyata. Bukan dengan memelas atau
meminta-minta kepemimpinan kepada kaum tua.
Kaum muda harus kembali membuktikan bahwa semangat revolusi ‘masih’ milik
mereka. Termasuk kepercayaan, eksistensi dan jiwa kepemimpinan yang dahulu
pernah ada. Karena sesungguhnya peluang untuk itu selalu ada. Tinggal apakah
kaum muda memiliki kesadaran, tekad dan upaya untuk segera menjemputnya.
Penulis hanyalah pembelajar di dunia yang fana