Senin, 30 Juli 2012

Kaum Muda dan Kebangkitan Nasionalis Kebangsaan (Refleksi 101 tahun Kebangkitan Nasional)


Oleh : Khoiriyyah Azzahro


Dalam sejarah yang selalu berulang, kaum muda senantiasa memiliki peran yang tak sedikit dalam perjalanan negri ini. Diawali pada tahun 1908, seorang Wahidin Sudirohusodo yang bercita-cita luhur untuk memajukan dan meningkatkan derajat bangsa, lahirlah organisasi Budi Utomo. Perkumpulan yang pada awalnya tidak ingin melibatkan diri pada bidang politik ini, telah membuktikan bahwa negri ini dapat bangkit maju dari keterpurukan karena kebodohan dan penjajahan oleh bangsa asing, melalui upaya kaum mudanya.
Pada era kemerdekaan, kembali kaum muda bangkit bergerak kala semangat nasionalisme negri ini tergerus kediktatoran pemimpinnya. Kaum muda tampil sebagai Tentara Pelajar (1945) dan Laskar Arief Rahman Hakim (1966) dan menumbangkan rezim yang berkuasa saat itu.
Namun, yang patut disayangkan adalah kala para senior yang terhormat angkatan ’66 tersebut terjebak pada tawaran-tawaran politik para penguasa yang disodorkan kepada mereka saat itu. Hingga lambat laun pergerakan mereka tergerus hingga ‘mati suri’. Kebisuan bagai penyakit yang menulari kalangan kaum muda kala itu. Karena mereka memang ‘dibisukan’ oleh pihak-pihak yang mendukung rezim.
Padahal Bennedict Anderson telah menyatakan bahwa revolusi pemuda telah lama menjadi watak khas dan arah revolusi di Indonesia. Ini karena proses revolusi di Indoesia telah diawali oleh kesadaran para kaum mudanya. Sejalan dengan Anderson, Ortega Y Gasset bahkan mempercayai kaum muda sebagai agen perubahan (agent of change) dalam setiap perjalanan kehidupan di dunia termasuk di Indonesia.
Pergerakan kaum muda Indonesia perlahan bangkit kembali tatkala negri ini terlalu lama digerogoti korupsi, kolusi dan nepotisme serta hegemoni pihak asing yang memberangus kemandirian serta menyisakan krisis di berbagai bidang pada 1997. Dan lahirlah era reformasi, sebuah zaman dengan terminology baru yang diperkenalkan kaum muda kepada bangsa Indonesia saat itu.
Pergerakan inilah yang menjadi awal kebangkitan baru bagi kaum muda dan negri yang terbungkam selama 32 tahun. Pergerakan inilah yang berhasil menghancurkan blunder terbesar yang dilakukan pemimpin bangsa saat itu. Pergerakan yang memberi semangat baru bagi bangsa ini untuk kembali menatap masa depan dengan optimis di tengah-tengah krisis global yang melanda serta menjadi penyuluh baru bagi gulitanya negeri yang didera hilangnya wibawa.
Sejatinya, kaum muda Indonesia telah berhasil membuktikan eksistensi diri dalam mengawal bangsa ini secara perlahan menuju gerbang revolusi. Meski pada kenyataannya keberhasilan selalu diiringi oleh kewajiban memaknai, menghargai dan mengisinya dengan terus melakukan ajang komtemplasi dan introspeksi diri demi memperbaiki kelemahan dan kekurangan, menguatkan basis, mempertajam intelektualitas dan wawasan kebangsaan sebagai evaluasi kebangkitannya.
Kecanggungann format pergerakan, hilangnya orientasi politik, rapuhnya basis perjuangan hingga terjebak pada perdebatan yang berlarut-larut atas perbedaan cara pandang, bahkan kelemahan mental, adalah beberapa pe-er (pekerjaan rumah) internal yang lambat laun dapat menghambat bahkan mematikan semangat kaum muda di masa kini.
Semua ini adalah ujian demi bangkitnya kembali semangat berkebangsaan dan berjuang bagi kaum muda negri ini. Dan tantangan bagi eksistensi peran dan tugas kaum muda negeri ini, utamanya dalam mengawal reformasi dan revolusi yang masih terus berjalan di negeri ini.
Maka… Akankah kaum muda Indonesia mampu tampil kembali menjadi agen perubah?
Bukankah sejarah telah berkata, bahwa hanya kaum muda-lah yang mampu menggerakkan negri ini ke masa depan yang lebih baik. Dan bangsa ini takkan bertahan tanpa campurtangan mereka. Maka kebangkitan nasional yang digawangi oleh kaum muda adalah sebuah keniscayaan. Dan seluruh rakyat Indonesia kini sedang menanti kebangkitan tersebut.
Siapkah dan sanggupkah kita mengulang kembali sejarah bangsa ini? Wallahua’lam

Penulis adalah pemerhati sosial dan kesastraan

Selasa, 03 Juli 2012

Dicari : Politisi Muda Anti Kapitalis



 
Oleh : Khoiriyyah Azzahro


“We are the class, they couldn’t teach, ‘cause we know better”
(kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami memahami  secara lebih baik)

Bait syair yang dipetik dari lagu Born in The 50’s oleh kelompok The Police di atas pernah menjadi ‘ruh’ bagi kaum muda di negeri Barat. Syair yang telah mewakili keresahan jiwa kaum muda yang terjajah oleh kapitalis karena ‘menggerogoti’ perekonomian, kemanusiaan hingga harga diri kaum muda pada era 1950-1960 tersebut hadir di tengah kesadaran kaum muda akan tindakan refresif yang sepenuhnya dikendalikan oleh kapitalis.
Kaum muda masa itu amat menyadari bahwa masyarakat kapitalislah yang telah melanggenggkan penindasan pada arus hubungan ekonomi bangsa. Yang dampaknya dapat meluas ke aspek dan lini kehidupan lainnya.
Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Apa yang terjadi dengan kaum mudanya dan para kapitalis yang selalu menguntit mereka?
Sejak reformasi digulirkan, telah banyak ruang ekspresi yang diberikan kepada kaum muda negri ini. Mulai dari perubahan struktur pemerintahan dengan diberikannya kesempatan bagi kaum muda untuk menduduki posisi strategis seperti pimpinan komisi, pimpinan fraksi bahkan pimpinan dewan, hingga ke lahan eksekutif dengan diisinya jabatan mentri dan kepala daerah oleh para kaum muda. Dan kini, setelah sepuluh tahun berlalu, apakah jabatan politis yang telah kaum muda duduki tersebut telah mampu melepaskan negeri ini dari kungkungan kapitalis lewat beragam produk budayanya?
Kenyataannya, kaum muda yang telah menjadi politisi di berbagai bidang dan ruang tersebut lebih betah menyaksikan akrobat ‘artis selebritis’ di media cetak dan elektronik daripada bergerak membenahi persoalan rakyat yang teramat kompleks. Lihatlah ketika rakyat menderita akibat bencana lumpur Lapindo misalnya, politisi muda lebih memilih melakukan kompromi dengan pengusaha terkait ketimbang gigih memperjuangkan hak-hak rakyat. Kemudian ketika beberapa rekan mereka yang ‘tersandung’ kasus asusila atau ‘bidikan’ tim pemberantas korupsi, mereka, para politisi muda tak ada satu pun yang menanggapi, sebaliknya mereka terkesan tutup mata dan kuping terhadap kasus rekan mereka sendiri.
Ditambah pula dengan pola hidup beberapa politisi muda yang lebih menyenangi mengkonsumsi produk luar negeri ketimbang olahan industri dalam negeri. Mulai dari kebutuhan elektronik –yang memang belum sanggup diproduksi oleh negeri ini- hingga pangan bermerek yang mereka konsumsi saat menggelar rapat atau diskusi di restoran dan hotel mewah berkelas internasional. Lalu ketika hasil tambang, perkebunan, hutan dan sumber daya alam Indonesia lainnya dikeruk habis-habisan oleh pengusaha asing, para politisi muda ini malah tenang-tenang saja.
Tak salah bila Yusuf Qardhowi pernah berkata “Hari ini kita menyaksikan bagaimana kapitalisme telah wujud dalam bentuk kolonialisme peradaban yang sempurna. Dimana negeri-negeri jajahan tidak merasa diri mereka sebagai bangsa yang terjajah, karena yang dijajah bukanlah fisik secara langsung, melainkan pemikiran, perilaku dan budaya”
Bila ini terus berlangsung, bukan tak mungkin harapan yang telah disandarkan kepada kaum muda, baik yang telah maupun yang belum atau tidak menjadi politisi di negeri ini, menjadi mentah dan berbalik pada rasa pesimis. Dan kaum tua kembali ‘ngotot’ untuk kembali tampil dan berjuang dengan cara lama konservativ mereka.
Di awal perhelatan pesta demokrasi pemilu tahun 2009 ini, kembali bertaburan wajah baru maupun lama dari kalangan kaum muda yang mengkampanyekan diri mereka sebagai calon politisi muda yang nantinya akan menduduki kursi legislatif maupun eksekutif negeri ini. Maka, alangkah bijak pabila kita, masyarakat yang nantinya akan mereka pimpin, mulai menilai, mencermati serta mengawasi sepak terjang politik mereka. Apakah mereka akan menjadi pengusung bagi tercapainya perekonomian kerakyatan, ataukah malah membela para pemilik modal negeri kapitalis internasional? Apakah para calon politisi dan pemimpin muda negeri ini lebih senang plesir ke luar negeri atau giat berjuang memajukan budaya dan pariwisata negeri sendiri?
Dengan seluruh harapan yang masih ada, marilah –lewat mata hati yang terbuka- kita cari calon politisi muda yang mampu menjadi tameng dalam menghadang serbuan ragam bentuk produk budaya kapitalis, sekaligus pengusung garda terdepan produk budaya negeri sendiri. Demi masa depan negeri yang lebih baik lagi. Aamin.
Penulis adalah pengamat sosial dan
anggota Sanggar Sastra Remaja Indonesia Samarinda
 dan Komunitas PenaKita Banjarmasin