Rabu, 22 Februari 2012

Kembalikan Sungaiku!


Kembalikan Sungaiku!! Kembalikan Emas Biruku!!
Oleh : Chairiyah Agustina, S.Sos

Banjarmasin merupakan kota yang dilalui banyak aliran sungai di sepanjang wilayah. Pantaslah julukan Kota Seribu Sungai disandangkan. Sungai Barito dan Martapura, dua diantaranya dengan sebaran anak sungai hingga pelosok.
Dahulu, kala sulitnya membangun jalan darat, keberadaan sungai amat penting dirasakan segenap penduduk. Karena lewat sungai sajalah jalur perhubungan dan pengangkutan dari satu tempat ke tempat lain dapat dicapai, bahkan hingga pedalaman.
Selain berupa bentangan alam yang kaya potensi bagi petani dan nelayan, sungai-sungai di Banua juga bermanfaat bagi perekonomian dan perdagangan. Beragam transaksi jual beli barang komoditi dengan jukung dan klotok jadi budaya khas kota ini, dengan jargon ‘pasar terapung’.
Maka, tepatlah bila dikatakan bahwa sungai adalah ‘Emas Biru’, sumber kekayaan, rahmat dan berkah yang dilimpahkan Tuhan kepada rakyat bumi Lambung Mangkurat ini. Tepatlah pula bunyi pepatah ada gula ada semut. Bila sungai-sungai diibaratkan gula, maka penduduk sekitarnya bak semut yang mengerubungi. Lihatlah kerumunan ‘semut’ penduduk di sepanjang daerah aliran sungai, membentuk pola keruangan dan tata kota yang khas.
Sayangnya, banyak sungai yang hanya tinggal nama. Artinya, masyarakat mengenal nama/identitas sungai, namun hakikat air alam itu sendiri tak nampak lagi. Bentangan alam yang tadinya dialiri sejumlah air, kini seakan ‘menghilang’.
Beberapa kondisi mendasar pada sungai di Banjarmasin adalah : ketidakseimbangan debit air. Pasokan air sungai kini tak mampu memenuhi kebutuhan penduduk bahkan di saat air pasang sekali pun. Namun, di sisi lain sering terjadi ‘kelebihan’ air kala musim hujan tiba. Genangan ‘banjir’ terjadi di berbagai sudut jalan dan perumahan warga hingga malam hari. Pada 2006 warga kelurahan Kuin Selatan sempat mengalami kekeringan, saat kran-kran pompa air yang mereka pasang dari sungai ke rumah hanya mengeluarkan lumpur.
Kondisi kedua ialah pencemaran air sungai yang kini tampak hampir di seluruh daerah aliran sungai. Sumber pencemar berupa sampah rumah tangga organik (dedaunan, kertas, kayu serta sisa sayuran) mencemari sungai dengan zat pestisida, herbisida dan insektisida yang melekat pada sampah tersebut. Pun non organik (beragam jenis plastik, styrofoam, jenis kaca dan lainnya) yang sulit terurai dan hancur dalam jangka waktu singkat. Selain merusak penampilan sungai, juga menjadi invisible poison, racun mematikan yang tak nampak dan merusak kualitas air. Beragam zat kimia terutama polimer dalam plastik, perlahan menggrogoti kesehatan makhluq hidup. Termasuk pula zat radioaktiv dari limbah logam yang memicu mutasi sel dan gen, penyebab beragam penyakit degeneratif semisal kanker pada organ manusia.
Yang ketiga ialah pendangkalan sungai. Ini terkait dengan dua kondisi sebelumnya. Tengoklah pinggiran sungai di sekitar rumah-rumah penduduk dan pada muara-muara sungai. Beragam jenis sampah tertimbun atau sekedar nyangkut tak ayal menyebabkan sungai berubah fungsi bagai tempat sampah. Ditambah lumpur yang dibawa dari rawa, menambah sempit ruang bagi air. Dan bila dibiarkan, lambat laun niscaya ‘menghilangkan’ hakikat sungai sebenarnya. Yang ada hanyalah tanah becek bercampur lumpur dan sampah.
Kita masyarakat tentunya tak hanya perlu risau dan prihatin berkepanjangan menyikapi analisa ini. Sesungguhnya semua akibat yang ada merupakan hasil perbuatan kita, hingga kita pula lah yang harus mengatasinya.
Beberapa hal yang dapat disegerakan untuk dilaksanakan antara lain ; mengoptimalkan saluran air (drainase) yang telah ada guna menghindari tergenangnya air sekaligus menyeimbangkan debit air sungai. Langkah awal ialah membersihkan selokan sebagai saluran air dari beragam sampah/kotoran yang menghambat aliran air. Termasuk memperbaiki badan selokan di berbagai tempat yang kondisinya memprihatinkan. Dari pengamatan penulis, daerah Mayjen Sutoyo, Jafri Zam Zam, Jalan Bali, dan sekitarnya, merupakan daerah dengan kondisi selokan yang cukup memprihatinkan. Lakukan pelebaran badan selokan pada kawasan yang daerah penyerapan airnya sedikit dan rawan tergenang ‘banjir’ dengan menjadikan sungai terdekatnya sebagai muara. Dengan ini diharapkan debit air sungai akan kembali normal, tak ada lagi genangan air di daerah pemukiman, sekaligus mengembalikan fungsi sungai.
Kedua, lakukan pembersihan kawasan sungai dari segala bentuk pencemaran.  Pemerintah dan masyarakat harus segera bergerak membersihkan seluruh aliran sungai dari genangan sampah. Lakukan uji dan pengawasan berkala terhadap debit, ph dan beragam kandungan kimiawi air sungai, guna menghindari kontaminasi zat kimia berlebih hingga melampaui ambang batas kesehatan.
Ketiga, pemerintah sekiranya dapat mencoba terapkan system garpu demi mengurangi dan menghindari pendangkalan sungai akibat endapan kotoran dan sampah. Sistem yang pernah diterapkan pemerintah Kal-Teng bekerja sama dengan Univ. Gajah Mada pada 1950 ini dapat diandalkan guna mengatasi pengendapan kotoran, sampah dan lumpur pada sungai. Dalam sistem ini, pengairan sungai diatur melalui kolam/waduk yang berfungsi sebagai penampung air pasang. Air dialirkan melalui saluran menuju waduk/kolam yang akan menyimpan air layaknya tanah. Hingga tak ada lagi genangan saat air pasang atau debit air meningkat. Sebaliknya, saat air surut, saluran waduk dapat dibuka untuk mengalirkan air menuju sungai. Dengan cara ini tak ada pengendapan dan pendangkalan sungai. Sungai tak ‘hilang’ dari alirannya, dan ‘Emas Biru’ nan indah masih menjadi investasi kota ini untuk anak cucu di kemudian hari.
Ketiga upaya di atas kiranya hanyalah sedikit dari yang dapat penulis paparkan sebagai sumbangsih bagi keberadaan sungai-sungai di Banjarmasin tercinta ini. Tentu ada banyak upaya lain yang dapat di lakukan oleh kita, masyarakat dan pemerintah. Kiranya patut kita renungi dan syukuri lebih dalam lagi atas rahmat Tuhan yang diberi kepada kita semua selama ini melalui sungai, si ‘Emas Biru’, potensi dan kekayaan Bumi Lambung Mangkurat ini. Dan tak melupakan atau melalaikan dari tugas sebagai khalifah di muka bumi ini.

Banjarmasin, July 2008

Tulisan ini telah meraih juara ketiga dalam Lomba Menulis Artikel Bertema Lingkungan Hidup dalam rangka HUT Harian BanjarmasinPOst ke 36 tahun 2008