Jumat, 31 Agustus 2012

Menjemput Revolusi Kepemimpinan Kaum Muda



Oleh : Khoiriyyah Azzahro



Revolusi pemuda telah lama menjadi watak khas dan arah revolusi Indonesia. Karena revolusi Indonesia diawali oleh kesadaran kaum mudanya
(Bennedict R.O.G Andersen)
Revolusi sering diidentikkan dengan gebrakan perubahan secara mendadak, tba-tiba dan (terkadang) melalui kekerasan atau pemberontakan. Bagi sebuah negri, revolusi terkadang menjadi suatu impian dan harapan tatkala beragam cara rekonsiliasi yang telah diupayakan tak jua membuahkan hasil guna membenahi keterpurukan kondisi yang ada.
Dengan terpaan krisis multidimensi yang masih menggerogoti negri Indonesia hingga kini, jargon ‘revolusi’ kembali ramai dikumandangkan. Revolusi menjadi idaman serta do’a dan harapan seluruh warga bangsa Indonesia.
Seperti ungkapan Bennedict di atas, serta bukti catatan sejarah, maka selalu ada peran kaum muda dalam jejak demi jejak perjalanan bangsa ini sejak masih ‘tiada’ hingga ‘ada’. Kaum muda telah menyulut semangat pembebasan negri dari kebodohan dan ketertinggalan pada 1908 lewat organisasi Budi Utomo, menyatukan negri ini lewat Sumpah Pemuda pada 1928, mengiringi perjuangan kemerdekaan ’45 lewat partisipasi sebagai tentara pelajar dengan kibaran semangat nasionalis, hingga menumbangkan kuasa rezim era 1966 dan menggemakan reformasi di tahun 1998.
Maka disadari atau tanpa disadari, tiap gerakan perubahan negri ini senantiasa diiringi kiprah kaum mudanya. Mereka telah berhasil membuktikan eksistensi diri dalam mengawal bangsa ini dan menciptakan revolusi di negri ini.
Hingga di 63 tahun perjalanan negri ini, kaum muda Indonesia tak hanya merevolusi namun mereka sendiri telah berevolusi menjadi pengusaha muda, pegawai dan karyawan muda, penyair muda, jenderal muda, olahragawan muda, bahkan ustadz dan kiai muda.
Namun, adakah kaum muda berevolusi menjadi pemimpin? Amatilah delapan tokoh yang kerap disebut media massa sebagai kandidat pemimpin (baca: presiden) negri ini di tahun 2009 kelak. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Amien Rais, Muhammad Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudoyono, Sutiyoso dan Wiranto. Lihatlah dari nama-nama tersebut! Adakah satu dari mereka yang berusia dibawah enam puluh tahun ? Ternyata dari nama-nama tersebut yang termuda berusia enampuluh tahun dan tertua berusia 69 tahun. Jadi jawabnya? Tidak ada!
Maka patutlah kita ajukan pertanyaan, apakah dari 120 juta lebih orang muda yang dimiliki negri ini, tak ada satu pun yang mampu dan layak tampil sebagai pemimpin? Atau inikah fenomena gerontokrasi yang pernah digambarkan oleh Michael B. Sterling dalam novel fiksi ilmiahnya Holy Fire (1996) ? Fenomena pengendalian kepemimpinan oleh kaum tua dan berumur, sementara kaum mudanya hanya menjadi obyek dan penonton.
Gejala fenomena gerontokrasi ini bila dibiarkan akan menggerogoti ‘kesehatan masyarakat’ bak penyakit kanker. Ia melemahkan dan menghilangkan peran kaum muda sebagai sumber energi terbesar dan terbaik yang ada pada tubuh masyarakat. Hingga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri, yang kemudian lambat laun menemui kemunduran dan kematian.
Maka, sebelum gejala gerontokrasi ini semakin merajalela, kaum muda harus segera ‘banting stir’ dan bangkit melakukan gebrakan. Harus ada upaya dari kaum muda untuk segera menuntaskan pe-er revolusi yang belum usai, serta mencegah semakin mewabahnya virus gerontokrasi di negri ini.
Suksesi kepemimpinan semakin dekat. Maka kaum muda selayaknya segera bergerak demi merebut peluang merevolusi diri dalam kiprah kepemimpinan bagi negri ini. Bergerak sesuai watak khas kaum muda, meyongsong dan menjemput revolusi kepemimpinan lewat upaya nyata. Bukan dengan memelas atau meminta-minta kepemimpinan kepada kaum tua. 
Kaum muda harus kembali membuktikan bahwa semangat revolusi ‘masih’ milik mereka. Termasuk kepercayaan, eksistensi dan jiwa kepemimpinan yang dahulu pernah ada. Karena sesungguhnya peluang untuk itu selalu ada. Tinggal apakah kaum muda memiliki kesadaran, tekad dan upaya untuk segera menjemputnya.

Penulis hanyalah pembelajar di dunia yang fana

Senin, 30 Juli 2012

Kaum Muda dan Kebangkitan Nasionalis Kebangsaan (Refleksi 101 tahun Kebangkitan Nasional)


Oleh : Khoiriyyah Azzahro


Dalam sejarah yang selalu berulang, kaum muda senantiasa memiliki peran yang tak sedikit dalam perjalanan negri ini. Diawali pada tahun 1908, seorang Wahidin Sudirohusodo yang bercita-cita luhur untuk memajukan dan meningkatkan derajat bangsa, lahirlah organisasi Budi Utomo. Perkumpulan yang pada awalnya tidak ingin melibatkan diri pada bidang politik ini, telah membuktikan bahwa negri ini dapat bangkit maju dari keterpurukan karena kebodohan dan penjajahan oleh bangsa asing, melalui upaya kaum mudanya.
Pada era kemerdekaan, kembali kaum muda bangkit bergerak kala semangat nasionalisme negri ini tergerus kediktatoran pemimpinnya. Kaum muda tampil sebagai Tentara Pelajar (1945) dan Laskar Arief Rahman Hakim (1966) dan menumbangkan rezim yang berkuasa saat itu.
Namun, yang patut disayangkan adalah kala para senior yang terhormat angkatan ’66 tersebut terjebak pada tawaran-tawaran politik para penguasa yang disodorkan kepada mereka saat itu. Hingga lambat laun pergerakan mereka tergerus hingga ‘mati suri’. Kebisuan bagai penyakit yang menulari kalangan kaum muda kala itu. Karena mereka memang ‘dibisukan’ oleh pihak-pihak yang mendukung rezim.
Padahal Bennedict Anderson telah menyatakan bahwa revolusi pemuda telah lama menjadi watak khas dan arah revolusi di Indonesia. Ini karena proses revolusi di Indoesia telah diawali oleh kesadaran para kaum mudanya. Sejalan dengan Anderson, Ortega Y Gasset bahkan mempercayai kaum muda sebagai agen perubahan (agent of change) dalam setiap perjalanan kehidupan di dunia termasuk di Indonesia.
Pergerakan kaum muda Indonesia perlahan bangkit kembali tatkala negri ini terlalu lama digerogoti korupsi, kolusi dan nepotisme serta hegemoni pihak asing yang memberangus kemandirian serta menyisakan krisis di berbagai bidang pada 1997. Dan lahirlah era reformasi, sebuah zaman dengan terminology baru yang diperkenalkan kaum muda kepada bangsa Indonesia saat itu.
Pergerakan inilah yang menjadi awal kebangkitan baru bagi kaum muda dan negri yang terbungkam selama 32 tahun. Pergerakan inilah yang berhasil menghancurkan blunder terbesar yang dilakukan pemimpin bangsa saat itu. Pergerakan yang memberi semangat baru bagi bangsa ini untuk kembali menatap masa depan dengan optimis di tengah-tengah krisis global yang melanda serta menjadi penyuluh baru bagi gulitanya negeri yang didera hilangnya wibawa.
Sejatinya, kaum muda Indonesia telah berhasil membuktikan eksistensi diri dalam mengawal bangsa ini secara perlahan menuju gerbang revolusi. Meski pada kenyataannya keberhasilan selalu diiringi oleh kewajiban memaknai, menghargai dan mengisinya dengan terus melakukan ajang komtemplasi dan introspeksi diri demi memperbaiki kelemahan dan kekurangan, menguatkan basis, mempertajam intelektualitas dan wawasan kebangsaan sebagai evaluasi kebangkitannya.
Kecanggungann format pergerakan, hilangnya orientasi politik, rapuhnya basis perjuangan hingga terjebak pada perdebatan yang berlarut-larut atas perbedaan cara pandang, bahkan kelemahan mental, adalah beberapa pe-er (pekerjaan rumah) internal yang lambat laun dapat menghambat bahkan mematikan semangat kaum muda di masa kini.
Semua ini adalah ujian demi bangkitnya kembali semangat berkebangsaan dan berjuang bagi kaum muda negri ini. Dan tantangan bagi eksistensi peran dan tugas kaum muda negeri ini, utamanya dalam mengawal reformasi dan revolusi yang masih terus berjalan di negeri ini.
Maka… Akankah kaum muda Indonesia mampu tampil kembali menjadi agen perubah?
Bukankah sejarah telah berkata, bahwa hanya kaum muda-lah yang mampu menggerakkan negri ini ke masa depan yang lebih baik. Dan bangsa ini takkan bertahan tanpa campurtangan mereka. Maka kebangkitan nasional yang digawangi oleh kaum muda adalah sebuah keniscayaan. Dan seluruh rakyat Indonesia kini sedang menanti kebangkitan tersebut.
Siapkah dan sanggupkah kita mengulang kembali sejarah bangsa ini? Wallahua’lam

Penulis adalah pemerhati sosial dan kesastraan

Selasa, 03 Juli 2012

Dicari : Politisi Muda Anti Kapitalis



 
Oleh : Khoiriyyah Azzahro


“We are the class, they couldn’t teach, ‘cause we know better”
(kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami memahami  secara lebih baik)

Bait syair yang dipetik dari lagu Born in The 50’s oleh kelompok The Police di atas pernah menjadi ‘ruh’ bagi kaum muda di negeri Barat. Syair yang telah mewakili keresahan jiwa kaum muda yang terjajah oleh kapitalis karena ‘menggerogoti’ perekonomian, kemanusiaan hingga harga diri kaum muda pada era 1950-1960 tersebut hadir di tengah kesadaran kaum muda akan tindakan refresif yang sepenuhnya dikendalikan oleh kapitalis.
Kaum muda masa itu amat menyadari bahwa masyarakat kapitalislah yang telah melanggenggkan penindasan pada arus hubungan ekonomi bangsa. Yang dampaknya dapat meluas ke aspek dan lini kehidupan lainnya.
Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Apa yang terjadi dengan kaum mudanya dan para kapitalis yang selalu menguntit mereka?
Sejak reformasi digulirkan, telah banyak ruang ekspresi yang diberikan kepada kaum muda negri ini. Mulai dari perubahan struktur pemerintahan dengan diberikannya kesempatan bagi kaum muda untuk menduduki posisi strategis seperti pimpinan komisi, pimpinan fraksi bahkan pimpinan dewan, hingga ke lahan eksekutif dengan diisinya jabatan mentri dan kepala daerah oleh para kaum muda. Dan kini, setelah sepuluh tahun berlalu, apakah jabatan politis yang telah kaum muda duduki tersebut telah mampu melepaskan negeri ini dari kungkungan kapitalis lewat beragam produk budayanya?
Kenyataannya, kaum muda yang telah menjadi politisi di berbagai bidang dan ruang tersebut lebih betah menyaksikan akrobat ‘artis selebritis’ di media cetak dan elektronik daripada bergerak membenahi persoalan rakyat yang teramat kompleks. Lihatlah ketika rakyat menderita akibat bencana lumpur Lapindo misalnya, politisi muda lebih memilih melakukan kompromi dengan pengusaha terkait ketimbang gigih memperjuangkan hak-hak rakyat. Kemudian ketika beberapa rekan mereka yang ‘tersandung’ kasus asusila atau ‘bidikan’ tim pemberantas korupsi, mereka, para politisi muda tak ada satu pun yang menanggapi, sebaliknya mereka terkesan tutup mata dan kuping terhadap kasus rekan mereka sendiri.
Ditambah pula dengan pola hidup beberapa politisi muda yang lebih menyenangi mengkonsumsi produk luar negeri ketimbang olahan industri dalam negeri. Mulai dari kebutuhan elektronik –yang memang belum sanggup diproduksi oleh negeri ini- hingga pangan bermerek yang mereka konsumsi saat menggelar rapat atau diskusi di restoran dan hotel mewah berkelas internasional. Lalu ketika hasil tambang, perkebunan, hutan dan sumber daya alam Indonesia lainnya dikeruk habis-habisan oleh pengusaha asing, para politisi muda ini malah tenang-tenang saja.
Tak salah bila Yusuf Qardhowi pernah berkata “Hari ini kita menyaksikan bagaimana kapitalisme telah wujud dalam bentuk kolonialisme peradaban yang sempurna. Dimana negeri-negeri jajahan tidak merasa diri mereka sebagai bangsa yang terjajah, karena yang dijajah bukanlah fisik secara langsung, melainkan pemikiran, perilaku dan budaya”
Bila ini terus berlangsung, bukan tak mungkin harapan yang telah disandarkan kepada kaum muda, baik yang telah maupun yang belum atau tidak menjadi politisi di negeri ini, menjadi mentah dan berbalik pada rasa pesimis. Dan kaum tua kembali ‘ngotot’ untuk kembali tampil dan berjuang dengan cara lama konservativ mereka.
Di awal perhelatan pesta demokrasi pemilu tahun 2009 ini, kembali bertaburan wajah baru maupun lama dari kalangan kaum muda yang mengkampanyekan diri mereka sebagai calon politisi muda yang nantinya akan menduduki kursi legislatif maupun eksekutif negeri ini. Maka, alangkah bijak pabila kita, masyarakat yang nantinya akan mereka pimpin, mulai menilai, mencermati serta mengawasi sepak terjang politik mereka. Apakah mereka akan menjadi pengusung bagi tercapainya perekonomian kerakyatan, ataukah malah membela para pemilik modal negeri kapitalis internasional? Apakah para calon politisi dan pemimpin muda negeri ini lebih senang plesir ke luar negeri atau giat berjuang memajukan budaya dan pariwisata negeri sendiri?
Dengan seluruh harapan yang masih ada, marilah –lewat mata hati yang terbuka- kita cari calon politisi muda yang mampu menjadi tameng dalam menghadang serbuan ragam bentuk produk budaya kapitalis, sekaligus pengusung garda terdepan produk budaya negeri sendiri. Demi masa depan negeri yang lebih baik lagi. Aamin.
Penulis adalah pengamat sosial dan
anggota Sanggar Sastra Remaja Indonesia Samarinda
 dan Komunitas PenaKita Banjarmasin

Rabu, 21 Maret 2012

Amay



Malam tadi, Amay tidur di rak buku-bukuku.
Dari rak atas dengan buku-buku bertumpuk, ke rak bawah yang penuh dengan majalah-majalah.


Kamis, 15 Maret 2012

Cinta Tiada Taranya


Oleh : Khoiriyyah Azzahro


Mentari terik Romadhon enggan beranjak menjauh dari langit Kota Samarinda. Menguapkan tetes air yang tertumpah, airmataku. Di sebuah kamar kost pada bangunan yang tua dan lusuh, Aku terisak menahan sesak di dada.
Ia telah menyakitiku! Mengkhianatiku! Uh... Bodohnya Aku!
Hatiku tak henti-hentinya merutuk. Menyesali yang terjadi, menyesali airmata yang terlanjur tumpah.
“Sudah, Ri...! Daripada ditahan, lebih baik begini. Perempuan itu wajar kok kalau nangis” terdengar ucapan yang lembut dari sahabatku, Enggar.
Huh! Enak saja! Emangnya siapa Ia! Beraninya membuatku menangis seperti ini. Dan membuat ibadah Romadhonku berantakan.
“Aku pernah bilang, kan Nggar! Aku gak akan pernah menangis untuk cowok kurang ajar macam Ranes!” teriakku.
Huh! Munafik! Sarung bantalmu itu sudah kuyup, Ri!
Lagi-lagi hatiku merutuk, memaki, mengamuk... pada diriku sendiri, pada kebodohanku. Meski semua rutukkan akhirnya tersia-sia, hatiku tetap saja tak henti merutuk.
Tok! Tok! Tok!  “Ri...!” seseorang di balik pintu memanggilku.
Sreeettt..... pintu terkuak. Sosok di baliknya segera menyerbu ke arahku yang masih memeluk bantal.
“Assalamu’alaykum. Ri, ikam garingkah jar? Garing napa1)?” Eva, sosok manis yang baru tiba langsung memberondongkan pertanyaan padaku.
“Sakit hati, Va! Gara-gara Si Ranes tuh!” jawab Enggar ketus.
“Hah! Cowok itu?”  Hhh.. Sabar ya, Ri! Masih banyak lelaki lain di luar sana yang pantas buat ikam2). Ya kan, Nggar?” celoteh Eva lagi.
Enggar langsung manggut-manggut.
Huh! Enak saja mereka bilang begitu! Mereka kan tidak tahu bagaimana kacaunya hatiku.
“Eh Ri.. Jadi kan kita ke kampus lagi siang ini? Ada kultum di mushola lho...” ujar Eva.
Ya ampun! Iya ya.. Ini kan hari yang sudah lama Kutunggu-tunggu. Kultum alias kuliah tujuh menit perdana yang digelar untuk kami, para mahasiswa angkatan baru, dimulai hari ini. Sejak seminggu lalu, Bang Airin, Mba Nunung dan Teh Nanan menggembar-gemborkan acara ini padaku. Sejak hatiku tercabik-cabik oleh kesal dan cemburu.
Cemburu? Ya Tuhan.. kini tak dapat lagi membohongi diriku. Aku cemburu padanya. Pada Ranes. Bodohnya Aku! Bukankah dulu sebelum memutuskan menjadi kekasihnya, Aku pernah berkata bahwa takkan pernah cemburu apalagi sungguh-sungguh jatuh cinta pada lelaki yang tak seiman denganku itu. Tapi, kini... ??
“Lho.. kok nangis lagi sih, Ri? Jadi kah ikut ke kampus?” tanya Eva.
Aku tergeragap dan segera menghapus airmataku. Eva menatapku, menunggu jawaban dariku. Oke! Sudahlah untuk kali ini! Ini airmata terakhirku untuk Ranes, lelaki pengkhianat itu. Segera Kulemparkan bantalku yang telah kuyup.
“Mau kemana, Ri?” tanya Enggar.
“Ke belakang, cuci muka!” jawabku sambil berlalu.
* * *

Aku tak tahu, mengapa sejak mengenal Teh Nanan, Bang Airin dan Mba Nunung, juga sejak awal memasuki ruangan seukuran 5 x 4 meter di pojok kampus itu, Aku selalu merasa damai dan kangen pada mereka. Senyum Teh Nanan yang lembut dan wajah Mba Nunung yang polos, dibalut jilbab dan gamis panjang yang anggun, senantiasa menentramkan hatiku. Hingga mampu membuatku lupa pada semua masalah hidupku. Termasuk pada Ranes.
Aku, Eva dan Enggar tiba di ruangan di pojok kampus itu. Mushola Al Ashr Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universita Mulawarman. Wangi syahdu sudah mendekati penciumanku.
Hmm.. Kultum kali ini pasti akan mengesankan.
Entah mengapa Aku berfikir demikian. Padahal ini adalah kali pertamaku mengikuti kegiatan kuliah tujuh menit yang digelar oleh para senior pengurus mushola di kampus.
Mushola fakultas itu kecil saja. Tak seperti mushola-mushola di fakultas lainnya di kampusku. Namun entah mengapa ketika memasukinya, Aku merasa ruang mushola itulah yang paling luas di antara seluruh ruang di kampusku. Karpetnya yang menipis dan hijab pembatasnya yang sudah mulai doyong tak mengurangi lapangnya perasaanku saat duduk dilantai mushola.
Sesaat kemudian kultum dimulai. Pembicaranya adalah mantan senior yang telah sukses di masyarakat dan kini menjadi dosen baru di kampusku. Sang moderator adalah Bang Airin, salah seorang senior yang amat gencar mempromosikan acara ini padaku.
Awalnya tiada yang istimewa. Kultum diisi dengan pembacaan hadist dan beberapa ayat Al-Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan materi tentang pentingnya menanamkan rasa ikhlas –materi yang menurutku terlalu sering diulang-ulang-  dan pertanyaan dari para pendengar. Dengan perasaan yang masih dibalut rasa sedih, Aku berusaha menyimak dengan seksama. Lamat-lamat terdengar ucapan Si Pemateri dan Bang Airin bergantian.
“Di kala hati kita dipenuhi oleh hal-hal kecil duniawi, kita sering kali terlupa pada akibat yang ditimbulkan oleh hal-hal kecil tersebut. Seakan-akan hal kecil itu tiada artinya jika dibandingkan dengan rahmat Allah yang Maha Besar. Contohnya ketika kita sedang jatuh cinta pada lawan jenis. Tak peduli apakah cinta kita tersebut di ridhoi Allah atau kah malah dimurkaiNya, kita malah semakin terbuai dan mabuk oleh cinta dunia. Padahal ridho Allah adalah segalanya. Dibandingkan dengan apa pun dimuka bumi ini”
“Hmm.. jadi kita tak boleh jatuh cinta ya Ustadz?”
“Bukan begitu. Bukan jatuh cintanya. Tapi, apakah perilaku kita tersebut diridho oleh Allah atau tidak?
Apakah Ia senang atau kah Ia malah murka pada perilaku kita tersebut?”
Dialog kedua orang tersebut menyelusup lesat ke dalam bilik dengarku, melaju cepat ke relung kalbuku, menghentak-hentak sanubariku, melesak-lesak ............ku. Tiba-tiba dadaku terasa sakit dan nafasku sesak. Pandanganku mengabur dan.......
“Ri.. istighfar, Dek! Istighfar, Dek!” lamat terdengar suara Teh Nanan di dekat telingaku. Segelas air minum tersodor. Setelah kerongkonganku basah, kuusap wajahku.
“Astaghfirulloh....” lirihku.
Ya Allah... Ampunilah Aku....
* * *

Kututup Al Qur’an mungil di tanganku. Ku letakkan dengan hati-hati di meja kecil di samping tempat tidurku. Ya.. Allah.. berapa lama Al Qur’an itu tak kusentuh? Sepertinya sejak Aku mengenal Ranes dan berpacaran dengannya sebulan yang lalu. Hanya sebulan. Tapi rasanya bak bertahun-tahun tak menyentuhnya.
Bulan sabit Romadhon membayang di kaca jendela kamar kostku. Terpantul pula wajahku yang masih berbalut rukuh mukena di sana.
Ya Robb... lihatlah Aku kini! Ini hari keempat Aku melewati Romadhon dengan deraian airmata. Menyesali semua yang terjadi. Menyesali kebodohanku. Telah kuberikan cintaku padanya, namun Ia mencampakkanku. Kuakui Ia memang bukan lelaki yang baik untukku. Aku pun tak pernah sungguh-sungguh mencintainya. Namun, Ya Robb... maafkanlah Aku! Ampunilah Aku! Atas waktuku yang tersia-sia kala bersamanya, memikirkannya, merindukannya.
Aku malu denganMu.. malu dengan jilbab yang kukenakan.. Betapa bodohnya Aku yang mencari cinta yang lain, dikala Kau berikan Aku cintaMu yang tiada taranya. Aku malu denganMu.. malu dengan jilbab yang kukenakan.. Betapa lemahnya Aku yang berfikir telah mendapatkan kasihMu kala aurat ini sudah mulai kututupi. Ternyata hidayahMu lebih besar kepadaku.
Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. Setelah mengikuti kultum hari itu, Aku selalu merasa malu pada diriku sendiri. Aku hanya ingin berada di mushola kampus sepanjang hari. Bertemu rekan-rekan yang selalu saling memberi salam dan nasehat. Yang selalu memberi cinta tulus mereka yang tak memabukkan, namun menenangkan. Karena mereka mencintaiku karena Allah semata. Bukan karena kecantikan dan kemolekan fisik semata.
Sejak saat itu, tiada lagi airmataku tertumpah sia-sia. Kecuali di kala Aku berusaha mengingat kesalahan, kebodohan dan dosa-dosa duniaku. Sejak saat itu, Aku yakin bahwa hidayahNya telah datang menghampiriku. Hidayah yang telah lama kutunggu. Jauh sebelum Aku mengenal cinta Ranes dan lainnya.
Ya Robb... terimakasih. Aku berjanji akan selalu berusaha menjaga hidayah ini di hidupku. Ya Robb.. Kan Kugenggam hidayah ini erat-erat selamanya. Ya Robb... dengarkan dan kabulkanlah permohonanku ini. Aamieen..
_Selesai_

Tulisan ini telah dimuat pada Tabloid Serambi Ummah

Rabu, 14 Maret 2012

Yang Telah Entah Kemana?


Jayyun, The  Most Gadug One!!!
Penangkap Ulung, Jagoan dan Pemimpin Kesebelasan




Yelle, Acan And Ucin
Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah






Si Kembar Acan - Ucin
waktu masih di alam dunia






Jumat, 09 Maret 2012

Pemuda dan Prestasi Kepemimpinan Bangsa



Oleh : Khoiriyyah Azzahro


Bung Karno pernah berkata “Berikanlah Aku seribu orang tua, maka kita akan mampu merobohkan Himalaya”. Bung Hatta menimpali “Berikanlah padaku sepuluh pemuda, maka kami akan dapat mengguncang dunia”
Ucapan dua tokoh proklamator kemerdekaan ini menunjukkan betapa ‘dahsyat’nya kekuatan kaum muda dalam kehidupan dan peradaban. Tak hanya bagi bangsa dan negri Indonesia, namun juga bagi seluruh umat dunia pada umumnya.
Ini karena disadari atau tidak, kiprah kaum muda selalu mengawali perjalanan bangsa Indonesia. Bahkan sejak negri ini belum menemukan makna, bentuk dan hakikat kehidupan kenegaraan. Kaum muda selalu menyertai jejak-jejak langkah bangsa ini dalam menapaki bentangan zaman.
Sejarah telah mencatat, atas prakarsa kaum mudalah negri ini tergerak bangkit dari belenggu penjajahan. Atas semangat Dr. Soetomo, Gunawan dan Sutardji-lah, negri ini bagai disinari saat kegelapan pembodohan mendera negri ini. Lewat tangan Wahidin Sudirohusodo, Dr.Cipto Mangunkusumo dan Supriyadi-lah rakyat bangsa ini digugah bahwa kemerdekaan harus segera terwujud dan kebebasan harus segera diraih.
Dan sejarah mencatat, begitu banyak nama kaum muda yang telah berhasil menyertai bangsa ini ke arah gerbang kemenangan. Sutan Syahrir, Chairul Saleh, Darwis dan Wicana adalah diantaranya. Bila tidak karena peran mereka dalam peristiwa penculikan dua tokoh di atas ke desa Rengasdengklok, mungkinkah proklamasi akan berkumandang? Arif Rahman Hakim dan Soe Hok Gie adalah beberapa nama yang juga berhasil merepresentasikan dan merekomendasikan para kaum muda sebagai generasi pengukir beragam prestasi di negri ini.
Berbekal pengalaman yang tak sedikit itu, patulah kiranya kita katakana bahwa energi dan prestasi kaum muda Indonesia sejatinya tak terbatas. Dari waktu ke waktu, mereka telah menggerakkan roda zaman ini dengan bentuk, cara dan senjata mereka sendiri. Yang oleh Sukardi Rinakit disebut sebagai kemuliaan heroik, kemulian kepahlawanan.
Hingga dengan ini sungguhlah tak ada alasan dan sangat ‘ahistoris’ bila menyatakan kaum muda tak berkemampuan untuk memimpin negri ini. Karena negri ini belumlah tua untuk dipimpin oleh generasi muda.
Di masa kini, negri yang telah berumur lebih dari setengah abad ini memimpikan (baca: membutuhkan) tak hanya figur pemimpin yang cerdas, berwibawa dan bermoral. Negri ini impikan pemimpin yang transforming, yaitu pemimpin yang mampu mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, pemimpin yang ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso dan  tut wuri handayani.
Negri ini juga impikan pemimpin yang berjiwa pahlawan, yang selalu berupaya tak hanya memberi teladan, menggalang tekad rakyat, memahami dan menjalankan aspirasi/amanah rakyat, namun juga harus berenergi untuk memahami semangat zaman serta mampu memberi gagasan-gagasan segar dalam mencari solusi berbagai masalah bangsa. Dan kaum muda adalah kelompok yang amat potensial akan beragam karakter kepemimpinan impian ini.
Maka belajar dari sejarah panjang, sudah waktunya negri kembali memberi kepercayaan kaum muda untuk memikul tonggak kepemimpinan bangsa dengan dukungan dari kaum tua yang tentu lebih berpengalaman. Kiranya ada prestasi-prestasi dan kebanggaan yang belum difahami oleh kaum muda masa kini.
Prestasi yang semestinya tak hanya menjadi milik seorang Gajah Mada yang bergelar ‘Patih’ dalam usia muda hingga bersumpah atas buah Pala demi mempersatukan bangsa ini. Atau hanya menjadi kenangan bagi sekitar 750 pemuda yang berikrar pada 28 Oktober 1928 guna memerangi perpecahan bangsa ini. Karena selayaknya harus ada prestasi-prsetasi kepemimpinan yang kembali dicetak oleh kaum muda negri ini.
Di awal 63 tahun perjalanan kemerdekaan dan delapan puluh tahun semangat sumpah pemuda yang akan segera kita peringati di bulan Oktober nanti, patutlah kita memberi dukungan sepenuhnya kepada pemuda dan kaumnya untuk kembali mencetak prestasi dalam memimpin negri ini. Perlahan hilangkanlah ragu, kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan kaum muda untuk memberi sumbangsihnya bagi negri ini. Dan sebaliknya ciptakan kesempatan untuk belajar, berkarya dan berjuang dalam memimpin negri yang teramat rindu akan perubahan ini.

Penulis : pengamat sosial dan kesusastraan
Banjarmasin 13rd August 2008

Tulisan ini telah dimuat pada Harian Banjarmasin Post Oktober 2008 dengan nama asli saya..

Rabu, 22 Februari 2012

Kembalikan Sungaiku!


Kembalikan Sungaiku!! Kembalikan Emas Biruku!!
Oleh : Chairiyah Agustina, S.Sos

Banjarmasin merupakan kota yang dilalui banyak aliran sungai di sepanjang wilayah. Pantaslah julukan Kota Seribu Sungai disandangkan. Sungai Barito dan Martapura, dua diantaranya dengan sebaran anak sungai hingga pelosok.
Dahulu, kala sulitnya membangun jalan darat, keberadaan sungai amat penting dirasakan segenap penduduk. Karena lewat sungai sajalah jalur perhubungan dan pengangkutan dari satu tempat ke tempat lain dapat dicapai, bahkan hingga pedalaman.
Selain berupa bentangan alam yang kaya potensi bagi petani dan nelayan, sungai-sungai di Banua juga bermanfaat bagi perekonomian dan perdagangan. Beragam transaksi jual beli barang komoditi dengan jukung dan klotok jadi budaya khas kota ini, dengan jargon ‘pasar terapung’.
Maka, tepatlah bila dikatakan bahwa sungai adalah ‘Emas Biru’, sumber kekayaan, rahmat dan berkah yang dilimpahkan Tuhan kepada rakyat bumi Lambung Mangkurat ini. Tepatlah pula bunyi pepatah ada gula ada semut. Bila sungai-sungai diibaratkan gula, maka penduduk sekitarnya bak semut yang mengerubungi. Lihatlah kerumunan ‘semut’ penduduk di sepanjang daerah aliran sungai, membentuk pola keruangan dan tata kota yang khas.
Sayangnya, banyak sungai yang hanya tinggal nama. Artinya, masyarakat mengenal nama/identitas sungai, namun hakikat air alam itu sendiri tak nampak lagi. Bentangan alam yang tadinya dialiri sejumlah air, kini seakan ‘menghilang’.
Beberapa kondisi mendasar pada sungai di Banjarmasin adalah : ketidakseimbangan debit air. Pasokan air sungai kini tak mampu memenuhi kebutuhan penduduk bahkan di saat air pasang sekali pun. Namun, di sisi lain sering terjadi ‘kelebihan’ air kala musim hujan tiba. Genangan ‘banjir’ terjadi di berbagai sudut jalan dan perumahan warga hingga malam hari. Pada 2006 warga kelurahan Kuin Selatan sempat mengalami kekeringan, saat kran-kran pompa air yang mereka pasang dari sungai ke rumah hanya mengeluarkan lumpur.
Kondisi kedua ialah pencemaran air sungai yang kini tampak hampir di seluruh daerah aliran sungai. Sumber pencemar berupa sampah rumah tangga organik (dedaunan, kertas, kayu serta sisa sayuran) mencemari sungai dengan zat pestisida, herbisida dan insektisida yang melekat pada sampah tersebut. Pun non organik (beragam jenis plastik, styrofoam, jenis kaca dan lainnya) yang sulit terurai dan hancur dalam jangka waktu singkat. Selain merusak penampilan sungai, juga menjadi invisible poison, racun mematikan yang tak nampak dan merusak kualitas air. Beragam zat kimia terutama polimer dalam plastik, perlahan menggrogoti kesehatan makhluq hidup. Termasuk pula zat radioaktiv dari limbah logam yang memicu mutasi sel dan gen, penyebab beragam penyakit degeneratif semisal kanker pada organ manusia.
Yang ketiga ialah pendangkalan sungai. Ini terkait dengan dua kondisi sebelumnya. Tengoklah pinggiran sungai di sekitar rumah-rumah penduduk dan pada muara-muara sungai. Beragam jenis sampah tertimbun atau sekedar nyangkut tak ayal menyebabkan sungai berubah fungsi bagai tempat sampah. Ditambah lumpur yang dibawa dari rawa, menambah sempit ruang bagi air. Dan bila dibiarkan, lambat laun niscaya ‘menghilangkan’ hakikat sungai sebenarnya. Yang ada hanyalah tanah becek bercampur lumpur dan sampah.
Kita masyarakat tentunya tak hanya perlu risau dan prihatin berkepanjangan menyikapi analisa ini. Sesungguhnya semua akibat yang ada merupakan hasil perbuatan kita, hingga kita pula lah yang harus mengatasinya.
Beberapa hal yang dapat disegerakan untuk dilaksanakan antara lain ; mengoptimalkan saluran air (drainase) yang telah ada guna menghindari tergenangnya air sekaligus menyeimbangkan debit air sungai. Langkah awal ialah membersihkan selokan sebagai saluran air dari beragam sampah/kotoran yang menghambat aliran air. Termasuk memperbaiki badan selokan di berbagai tempat yang kondisinya memprihatinkan. Dari pengamatan penulis, daerah Mayjen Sutoyo, Jafri Zam Zam, Jalan Bali, dan sekitarnya, merupakan daerah dengan kondisi selokan yang cukup memprihatinkan. Lakukan pelebaran badan selokan pada kawasan yang daerah penyerapan airnya sedikit dan rawan tergenang ‘banjir’ dengan menjadikan sungai terdekatnya sebagai muara. Dengan ini diharapkan debit air sungai akan kembali normal, tak ada lagi genangan air di daerah pemukiman, sekaligus mengembalikan fungsi sungai.
Kedua, lakukan pembersihan kawasan sungai dari segala bentuk pencemaran.  Pemerintah dan masyarakat harus segera bergerak membersihkan seluruh aliran sungai dari genangan sampah. Lakukan uji dan pengawasan berkala terhadap debit, ph dan beragam kandungan kimiawi air sungai, guna menghindari kontaminasi zat kimia berlebih hingga melampaui ambang batas kesehatan.
Ketiga, pemerintah sekiranya dapat mencoba terapkan system garpu demi mengurangi dan menghindari pendangkalan sungai akibat endapan kotoran dan sampah. Sistem yang pernah diterapkan pemerintah Kal-Teng bekerja sama dengan Univ. Gajah Mada pada 1950 ini dapat diandalkan guna mengatasi pengendapan kotoran, sampah dan lumpur pada sungai. Dalam sistem ini, pengairan sungai diatur melalui kolam/waduk yang berfungsi sebagai penampung air pasang. Air dialirkan melalui saluran menuju waduk/kolam yang akan menyimpan air layaknya tanah. Hingga tak ada lagi genangan saat air pasang atau debit air meningkat. Sebaliknya, saat air surut, saluran waduk dapat dibuka untuk mengalirkan air menuju sungai. Dengan cara ini tak ada pengendapan dan pendangkalan sungai. Sungai tak ‘hilang’ dari alirannya, dan ‘Emas Biru’ nan indah masih menjadi investasi kota ini untuk anak cucu di kemudian hari.
Ketiga upaya di atas kiranya hanyalah sedikit dari yang dapat penulis paparkan sebagai sumbangsih bagi keberadaan sungai-sungai di Banjarmasin tercinta ini. Tentu ada banyak upaya lain yang dapat di lakukan oleh kita, masyarakat dan pemerintah. Kiranya patut kita renungi dan syukuri lebih dalam lagi atas rahmat Tuhan yang diberi kepada kita semua selama ini melalui sungai, si ‘Emas Biru’, potensi dan kekayaan Bumi Lambung Mangkurat ini. Dan tak melupakan atau melalaikan dari tugas sebagai khalifah di muka bumi ini.

Banjarmasin, July 2008

Tulisan ini telah meraih juara ketiga dalam Lomba Menulis Artikel Bertema Lingkungan Hidup dalam rangka HUT Harian BanjarmasinPOst ke 36 tahun 2008