Review Kumpulan Cerita Pendek “Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi”
Guru Politik yang Bukan Politikus
Sutarjo mencalonkan diri sebaga kepala desa atau lurah di kampungnya. Sayangnya, sejarah kelam bapak kandung Sutarjo yang pernah disinyalir terlibat G30S-PKI menghambat rencanya tersebut. ‘Penasihat spiritual’nya yang merupakan anggota legislatif menyarankan agar Sutarjo melakukan beberapa hal dengan maksud ‘pencitraan diri’ di mata masyarakat.
Pesaingnya pun tak mau kalah. Sebagai orang dari kalangan ‘senapan’
(baca : militer) pesaingnya menggunakan taktik ‘politik kotor’ dengan
mengandalkan uang, panggung hiburan joget, tawuran antar warga, hingga upaya
memberantas preman. Alhasil Sutarjo kalah suara pada saaat pemilu. Oleh ‘penasihat
spiritual’-nya ia diingatkan bahwa ia sudah melakukan hal yang benar dan jujur.
Ini pelajaran yang kedua untuk Sutarjo agar tak mudah kecewa dan berputus asa.
Namun, kesedihan tak mudah
dilupakan. ‘Penasihat spiritual’-nya pun memberi saran untuk membuat acara
kenduri atau selamatan. Sayangnya tak banyak yang menghadiri acara tersebut. Karena
warga dan muspida lebih senang menghadiri acara serupa yang diselenggarakan
oleh pesaingnya yang telah memenangkan pemilihan kepala desa.
Maka kembali ‘penasihat spiritual’nya
memberikan pelajaran, bahwa dalam berpolitik itu janganlah terlalu serius.
Judul : Pelajaran Pertama bagi
Calon Politisi
Penulis : Kuntowijoyo
Jenis buku : Kumpulan cerita Pendek
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : 2013
Harga : Rp 10.000 (buku obral
gramedia)
ISBN : 978-979-709-742-4
Sebelum masa reformasi, Kuntowijoyo
lebih dikenal dengan jenis tulisan yang bernapaskan islami. Dari mulai novel,
artikel hingga esai. Karya Kuntowijoyo yang pernah saya baca sebelum ini adalah
“Impian Amerika” dan “Makrifat Daun, Daun Makrifat”.
Bagi saya yang pernah membaca “Impian
Amerika” (selanjutnya disingkat IA), membaca beberapa kisah dalam kumpulan cerita
pendek “Pelajaran Pertama Bagi Politisi” (selanjutnya disingkan PPBP) ini
bagaikan nostalgia dan kembali menikmati novel IA yang lebih berupa
fragmen-fragmen peristiwa. Ini karena ada beberapa cerita pendek yang
mmenggunakan setting di Amerika Serikat, yaitu “Abe Smitt” dan “Ramon Fernandez”.
Dalam kumpulan cerita pendek PPBP
ini, Kuntowijoyo menyuguhkan beragam pesan dan –seperti judulnya- pelajaran. Dari
soal sosial bertetangga (dan bernegara) dalam cerita pendek “Gigi”, “Jl.
Kembang Setaman, Jl...” dan “Rt 03 Rw 22 Jalan Belimbing... “, soal sosial dan
keprihatinan terhadap kemiskinan, seperti dalam “Ramon Fernandez”, “Anjing-anjing
Menyerbu Kuburan” politik dalam “Tawanan”,
“Pistol Perdamaian” hingga soal makna kebahagiaan seperti dalam “Sampan Asmara”.
Semua cerita pendek dalam kumpulan
cerita pendek ini telah dimuat pada harian Kompas. Dan menurut Bakdi Soemanto
dalam pengantarnya yang terdapat pada kumpulan cerita pendek ini, karya
Kuntowijoyo kali ini memberi makna mendalam dibandingkan karya cerita pendek
masa kini yang banyak dimuat di koran-koran, termasuk di koran kompas sendiri. Saya
pribadi sepakat dengan pendapat ini. Bagi saya karya-karya Kuntowijoyo selalu
membuka dan menggugah cara berpikir baru, selalu memberi pencerahan tanpa
banyak menggurui. Dan berbeda dengan karya-karya sebelumnya, di mana Kuntowijoyo sselalu menjelma bak 'kyai', 'ustadz' atau mubalig dalam karyanya, kali ini, pada kumpulan cerita pendek PPBD ini, Kuntowijoyo telah menjadi guru politik yang memberika pelajaran pertama bagi politisi meski Kuntowijoyo sendiri bukanlah seorang politikus.
Sayangnya, ada beberapa kosakata bahasa
jawa dan inggris yang tak disertakan terjemahan dan penjelasannya. Saya pikir
ini akan menjadi kesulitan bagi pembaca yang tak banyak mengerti bahasa jawa,
seperti saya ini.
Kumpulan Cerpen ini saya beri bintang
tiga.