Senin, 26 Desember 2011

Oncoy-Oncoyku....


By : Khoiriyyah Azzahro



Mataku terjaga kala terdengar keributan di sisi kanan rumah. Hhm.. ini sudah jam berapa? Kukucek mata dan Kuggeliatkan badan. Kedua kaki lemahku perlahan menjejak di lantai.
“Sabar, pang! Nang halus mana1)? Na.. ini buat nang halus. Ucin pang mana? Acan mana?” suara mama terdengar lantang setelah pintu kamarku terbuka.
Langkahku terpacu menuju arah keributan. Setibanya di sana, Aku pun tergelak “Ha ha ha!”
Tangan Si Acan (aslinya Hasan Basri) menggapai-gapai mangkuk kecil di tangan mama. Di sisinya, Si Ucin (resminya Husin Naparin) memelas memandang mama. Sementara Ican (selengkapnya Nur Ihsan) lahap menyantap nasi ikan. Kaki depannya menjejak piring hingga benda  itu terjungkit ke belakang. “Ha ha...” gelakku menjadi. Tak peduli bahwa Aku belum menggosok gigi. Hi hi..
Kudekati ketiga makhluk berbulu di depan mama tersebut. Kujawil sedikit hidung Acan. Ia balas meraih tanganku. Ups! Hampir saja tanganku kena cakarnya. Acan pun berkata “Meeeooong..
Inilah pemandangan yang tiap hari kusaksikan di rumah. Aku menyebutnya ‘pembagian jatah BLT bagi para per-oncoyan’. Wah.. ‘peroncoyan’? Apaan tuh?

Oncoy dan Silsilahnya
Istilah ‘peroncoyan’ mulai ada ketika makhluk berbulu, berkaki empat, berkumis, bersuara ‘meoong’ (atau ‘miaauw’) dan menyukai ikan, hadir di rumah keluargaku saat masih di Balikpapan. Kala itu, adikku –Arul- berumur dua belas tahun. Sebagai anak bungsu, Arul kerap kesepian. Ia lalu menjadikan kucing belang kelabu yang berkunjung ke rumah sebagai teman bermain dan memberinya nama ‘Oncoy’.
Tahun berganti. Keluarga kami pun kembali ke kampung di Kota Banjarmasin. Namun istilah tersebut masih melekat dalam hati dan fikiran kami semua. Setiap melihat kucing yang berkeliaran di sekitar rumah, keluargaku, terutama Arul akan menyapanya “Hey, Oncoy!!”
Dua tahun lalu, Si Kuning, kucing tetangga samping gedung Taman Kanak-Kanak, melahirkan dua anaknya di rumah keluargaku. Masih kuingat kala Si Kuning mondar-mandir ingin ditemani olehku saat melahirkan. Sayang, Aku tak bisa melakukannya karena Ia ingin melahirkan pada plafon rumah yang sempit, yang tak mungkin memuat tubuhku.
Beberapa hari kemudian, Si Kuning membawa turun dan memasukkan kedua anaknya ke dalam kardus besar bekas mesin pendingin makanan. Kardus tersebut terasa gaduh karena kedua anak kucing tersebut sudah mulai lincah bergerak. Bahkan Aku dapat melihat jelas keduanya yang masih lemah dan kecil. Maka tak ada yang membantah saat kedua anak Si Kuning kuberi nama Hazdarun dan Yellow. Hadzarun (bahasa Arab) dan Yellow (bahasa Inggris) memiliki arti yang sama, yaitu ‘kuning’. Ya! Kuning! Ini karena keduanya memiliki warna kuning kecoklatan. Hadzarun kini lebih populer dengan nama panggilan ‘Jayyun’ dan Yellow lebih ngetop dengan panggilan ‘Yềyeu’.
Juni 2008, senja baru pergi berganti gelap. Aku bersiap pada sadel motorku untuk memberi les privat Bahasa Inggris pada beberapa murid SD dan SLTP. Tiba-tiba motor Abah memasuki pekarangan. Pada sadel belakang Mama berseru “Ieya! Lihat, kayaknya tadi ada kucing kecil tuh!”
Kucing kecil? Di senja redup begini?
Aku beranjak dari sadel dan mencari sosok yang dimaksud. Benar! Seekor kucing kecil berbulu putih belang hitam hilir mudik tak tentu. Kuraih Ia perlahan dan kuserahkan pada mama. Ternyata Abah menyukainya. “Ini jenis kucing cerdas dan menarik waktu Abah kecil dahulu, lho!” ujar Abah.
Oo.. gitu ya? Aku tak tahu hal itu. Kucing kecil itu kunamai Blester karena tubuhnya yang sedikit berbelang. Dikemudian hari, namanya menjadi Blester Oncoy Ndang Ndut (duuh panjang nian!). ‘Blester’ karena berbelang, ‘Oncoy’ adalah istilah perkucingan, ‘Ndang’ atau ‘Dadang’ jadi panggilan sayang mama (juga mama gunakan pada anak-anak kandungnya), dan ‘Ndut” karena Ia gendut besar.
Waktu berlalu, Jayyun dan Yellow semakin dewasa. Jayyun mulai pintar mencari mangsa dan Yellow mulai genit di depan kucing-kucing jantan milik tetangga.
“Yềyeu mau kawin tuh! Yeyeu pacaran tuh!” ledek kami bila melihat Si Yellow berduaan di teras dengan kucingnya Acil Sahay, tetangga kiri rumahku. Atau bila Ia jalan-jalan dengan kucingnya Arif, tetangga depan rumahku. “Yềyeu genit! Yềyeu genit” ujar Arul. Dan... terdengarlah kembali meong kecil dari atas plafon. Entah berapa ekor anak kucing yang lahir dari rahim Si Yềyeu.

Arul Nyungsep
“Yề, Dede-nya mana Yề? Turunin Dede-nya, Yề!” ucapku pada Yềyeu.
“Meoong..!!” jawab Yềyeu. Duuh... hatiku ketar ketir memikirkannya. Hampir dua minggu, tapi baru dua ekor yang diturunkan oleh Yềyeu. Pasti masih ada seekor atau dua ekor lagi di atas plafon.
Rasa gemas membuat Arul bertindak. Adik lelakiku satu-satunya itu menaiki tangga menuju plafon. “Pelan-pelan, Rul!” ucap mama.
Satu anak kucing berhasil diselamatkan. Lesu dan kurus tubuhnya. Saat Arul menyerahkannya pada mama, kulihat tetes air terjatuh dari sudut mata mama. Arul kembali ke loteng mengambil seekor  yang tersisa dan letaknya cukup jauh. Tepatnya di plafon ruang tamu yang hanya terbuat dari triplek.
Sementara Aku menanti di dekat tangga tempat Arul berpijak, terdengar teriakan dari ruang depan, “Toloooonggg! Mamaaa!! Tolooongggg!! Ieyaaa!!!”
Panik kuberlari ke arah depan. Ya, Tuhan! Arul sedang bergelantungan pada plafon dengan kaki menjuntai ke bawah. Tubuhnya berdebu. Kujauhkan meja kaca di bawahnya lalu berlari mencari sofa empuk dan meja panjang. Kuletakkan benda-benda tersebut di lantai agar Arul dapat menjatuhkan diri dengan aman. Namun Arul masih merasa gamang padahal kedua tangannya sudah lemah dan payah bergelantungan pada plafon.
“Ayo, Rul! Pelan-pelan ja!” bujukku.
Brukkk!!
Hatiku meringis melihat tubuh Arul jatuh terlentang dengan posisi kaki di atas meja sementara kepalanya hampir membentur lantai. Celana pendeknya sobek dan t-shirt-nya penuh debu. Namun sang anak kucing tetap tertinggal di plafon. Ia berteriak makin keras “Meeoonggg!!!”
Ah.. gara-gara mau nolongin si Oncoy, malah jadi teriak ‘Tolooong!’

Oncoy Berenang
Pagi cerah, Aku baru menyelesaikan ‘acara’ cuci piring dan bersiap menjemur pakaian. Tiba-tiba..
Byuur!!
Terdengar bunyi benda berat terjatuh ke dalam kolam. Setengah berlari kutengok ke arah suara. Dan... “Ha ha ha...!!  Ha ha ha...!! ” tawaku langsung meledak.
Di kolam, kaki belakang Dadang mengepak di permukaan air sementara kedua kaki depannya mencengkram bambu tipis yang terbentang di depan kolam.
Sementara para ‘oncoy’ lainnya menyaksikan... Sret! Dengan cepat Dadang melompat ke potongan kayu ulin di depannya. Lalu berlari ke teras sambil berseru “Meeeooonggg!!”
Acan menatap sendu ketika Dadang mengibaskan bulunya yang basah. Begitu juga para ‘oncoy’ lainnya. Mungkinkah mereka teringat nasib mereka dahulu yang hampir sama dengan Dadang pagi itu?
Hmm.. hampir semua ‘oncoy’ di rumahku pernah merasakan jatuh kuyup atau berkubang lumpur di kolam yang bentuknya sudah tak keruan itu. Pernah suatu hari terdengar teriakan seekor kucing dari bawah berumahan2). Aku dan mama tungging-menungging menatap ke bawah berumahan dari celah lantai kayu. Tubuh dan kepalaku pegal rasanya. Tapi tak jua ditemukan asal suara.
Aku mengambil senter di ruang tivi. Lalu menyoroti ujung demi ujung berumahan dengan sinarnya. “Uuy.. siapa di sana? Oncoy siapa di sana?” tanyaku.
Meooong...”  jawabnya.
Seluruh berumahan telah kusorot, tapi tiada satu oncoy pun ditemukan. Satu persatu para ‘oncoy’ yang lain berdatangan. Yellow, Jayyun, Dadang, Acan, eh... Ucin...!
Lho? Bukankah hanya seekor di bawah sana? Acan atau.. Ucin. Jadi, ada di dekatku ini siapa ya?
Aku dekati kucing kuning kecoklatan di dekatku. Ia mengais-ngais lantai yang bersih di bawahnya sambil terus mengeong. Entah mengapa Aku tertarik memperhatikan gerak tangannya. Dan.... hey!
“Ma! Lihat! “ seruku sambil menunjuk bawah berumahan. Seekor ‘oncoy’ tampak berpagut pada tiang yang menyilang. Tubuhnya sebagian tampak kuyup.
Ternyata, kucing kembar juga memiliki perasaan yang sama seperti manusia kembar. Mampu merasakan seperti yang dialami oleh kembarannya. Terbukti Ucin-lah yang terlebih dahulu menemukan Acan. Padahal Aku dan Mama lebih dulu mendengar suaranya, mencarinya kesana kemari, namun tak jua menemukannya.
Demi menolong Acan, kami membuka paksa lantai dari kayu ulin. Dengan linggis dan palu, kucongkel keras papan tersebut. Setelah papan terangkat kurebahkan tubuh lebih rendah agar dapat menggapai Acan di bawah sana.
Ah... Ternyata tak semudah yang dibayangkan. Cengkraman Acan terlalu kuat pada tiang rumah. Meski peganganku telah erat dan tarikanku amat kuat, tubuh Acan yang telah kuyup tak jua terlepas dari tiang. Padahal badanku makin pegal dan linu karena terus menungging. Tanganku kotor oleh lumut kayu dan tergores paku bahkan beberapa kesuban3). Dan Acan masih lantang bersuara “Meeeooonggg!”
“Sudah! Cuekin aja, Ya! Ntar dia keluar sendiri tu” ujar mama. Akhirnya Aku mengganti posisi tubuhku. Dasar Oncoy! Mau ditolongin malah gak mau! Gerutuku makin panjang di dalam hati sambil melenggang mengambil gelas kopiku.
Setelah menenggak segelas kopi, Aku kembali menengok ke berumahan. Hey! Kemana Si Acan?
Meooongg!” suara itu makin dekat terdengar. “Acan...” panggilku sambil menengok ke sisi kolam. Nah! Itu dia! Ternyata Acan berhasil meniti bentangan kayu di berumahan. Kini Ia telah bertengger pada bentangan kayu di dekat kolam. Aha!! Kali ini Aku pasti dapat meraihnya.
Hup! Kugenggam erat tubuhnya. Lalu... Sret!! Kutarik dengan cepat dan kuat tubuhnya hingga genggamannya terlepas. Aku segera memanggil Mama “Mama...!!”
“Hiii... Acan kotor. Hiiiyy!!” seru mama. Dan Aku meringis menatap darah segar yang mengucur dari tanganku karena terkena cakar Acan dan bentangan kayu yang penuh paku, lumut serta debu.
“Huu... sekalian aja kita jadi tim SAR, Ma!” ujarku.
“Ho oh! Ikut pasukan penyelamat kucing, Ya!” timpal mama.
Ya, benar! Seandainya ada pasukan penyelamat kucing, pasti Aku menjadi anggota tim tersebut. Karena ternyata keesokan harinya, lusa, lima hari kemudian, seminggu kemudian, berbulan kemudian, satu persatu para ‘oncoy’ di rumahku akhirnya merasakan petualangan menegangkan saat terjatuh di berumahan atau kolam. Sementara Aku dan Mama makin cerdas dan tangkas saat menolong mereka.

Yang Telah Tiada
Tak kan kulupa dua kematian di awal bulan Oktober ini. Kematian pertama adalah julak-ku yang mendadak harus di rawat di rumah sakit karena komplikasi. Dan kematian kedua adalah Si Putih, anak Yềyeu paling kecil.
Senja itu, Aku baru pulang dari tempat kerja. Setelah mandi dan sholat, Aku duduk di sofa ruang tivi. Mengapa begitu sepi? Para Oncoy pada kemana? Kucari di dapur, di kamar Arul, di gudang, di teras, tak ada sesiapa. Hanya Mama yang sedang memasak di dapur. Nah.. ada bulu putih halus tergelak di lantai dapur yang dingin.
Oh.. Si Putih! Kuraih dan kupeluk Si Putih yang gemuk lucu. Bulunya begitu halus. Berbeda dengan kedua kakaknya, Acan dan Ucin. Tapi... mengapa Ia lintap lintup4)? Kepala Si Putih lunglai. Matanya berkedip lemah padaku. Tangannya mencengkram kecil bajuku.
“Ma! Si Putih kok gini?”
“Kenapa?” tanya mama.
“Kayaknya dia sakit deh, Ma! Panas dingin badannya!”
“Ya sudah.. malam ini Si Putih kita kasih obat” ujarku mama.
Seluruh ‘oncoy’ sudah pernah mengalami sakit. Dan setiap sakit, para ‘oncoy’ tersebut akan diberi obat minum. Tak pernah kami membawa para ‘oncoy’ ke dokter hewan, karena selain sangat sulit mencari dokter hewan di kota Banjarmasin, juga karena kami tak punya cukup uang untuk itu.
Si Putih kurebahkan di kasurku. Kemudian Aku segera berkutat dengan artikelku yang belum rampung. Tiba-tiba Arul memasuki kamarku dengan alasan ingin memasang screen monitor laptop.
Aktivitas mengetikku pun terhenti sementara waktu, karena Aku dan Arul larut dengan seribu satu strategi teknik memasang screen monitor laptop. Tapi, dasar jadul! Hingga tangan loyo, plastik screen tak jua berhasil terpasang. Putus asa, Arul dan Aku memutuskan untuk membeli kembali plastik screen yang baru dan menyerahkan prosesnya pada ahlinya kelak.
Ah.. otakku jadi mumet! Refleks kutengok ke atas kasur. Hey! Kenapa Si Putih tidurnya seperti itu? Mulutnya sedikit terbuka, tangan dan kakinya kaku ke depan, lalu..... Astaghfirullah....
“Mama! Si Putih mati!” teriakku sejadinya.
“Belum, Ya! Belum!” mama ikut berteriak tak keruan.
“Nih, Si Putih-nya sudah kaku! Gak bernafas, Ma...” parau suaraku menahan desiran yang entah mengapa hadir tiba-tiba di dadaku. Lalu kurasakan ada air membendung di sudut mataku.
Malam itu.. Aku, Mama dan Arul menguburkan jasad Si Putih yang terbujur kaku di tanah yang lembab sisa hujan siang hari. Berdekatan dengan kubur dua kakaknya terdahulu. Acan, Ucin dan Ican menatapi ulah kami dari dekat. Ingatanku tak lepas pada ulah Si Putih yang akhir-akhir ini tampak tak biasa. Selalu Ia mengalah bila sedang bermain ‘Smack Down’ dengan Ican. Tubuhnya kadang tampak lemah tak bersemangat. Mungkin juga karena beberapa hari sebelumnya Ia sempat kehujanan..
Kini kucing kecil berbulu putih kekuningan lembut nan cantik itu telah tiada. Tuhan rupanya amat mencintainya dan ingin segera mendekatkan Si Putih di sisiNya. Semoga kelak di akhirat, kami dapat  berjumpa lagi dengan Si Putih. Karena kami amat menyayanginya.

Ucin Hilang
Saat masih kecil, Ucin pernah hilang selama tiga hari. Kala itu mama selalu memanggilnya lebih lantang dari biasanya bila waktu makan tiba, “Ucin.. bulik5)! Makan!”
Aku pun ikut bertanya pada Acan, “Si Ucin, mana, Can? Cari Ucin,Can!” Bahkan, kata mama, Aku sampai mengigau memanggil Ucin dalam tidur “Ucin mana ya? Ucin mana?”
Wah! Sampai segitunya. He he.. Soalnya, saat itu hanya Si Ucin kucing yang paling tenang dan senang tidur bersamaku di kasur.
Entah kemana Ucin menghilang. Sejak Kamis sore, tak tampak batang moncongnya. Hingga
Minggu senja, kala kami sedang siap bersantap malam, tiba-tiba terdengar suara dari pintu kanan rumah.
Meooonggg!”
Mama segera membuka pintu samping, dan...  “Ieya! Ucin pulang, ni!”
Kutinggalkan piring makanku dan segera menuju sisi kanan rumah. “Uciiiiiiinnn!!!” teriakku.
Tapi, saat melihat tubuh Ucin yang tampak kuyu dan kurus serta gaya makannya yang ‘kesetanan’, hatiku terasa sedih. Duuuh... Ucin. Kemana saja dikau selama ini? Andai Ia bisa bercerita. Dan andai kufahami bahasa per‘oncoy’an... “Meoonggg......”

Mendapat Surga
Banyak hal yang menyebabkan seisi rumahku mencintai para ‘oncoy’ alias kucing-kucing yang kerap bikin pusing dan tragedi itu. Dari rasa cinta hingga kepercayaan yang entah berasal dari mana.
Mama mempercayai bahwa dengan memelihara dan mencintai kucing-kucing akan memperoleh keberuntungan dan surga di akhirat kelak. Sementara Abah meyakini kucing-kucing adalah hewan kecintaan para Nabi. Dan Arul menyukai kucing seperti Ia menyukai boneka, bahkan pacarnya (ha ha...).
Aku sendiri menyukai hewan bernama kucing itu karena selain lucu dan menggemaskan, juga karena kenangan indah selama praktek Kuliah Kerja Nyata hampir sembilan tahun lalu. Saat itu Aku mengenal seekor kucing lugu yang selalu menemaniku kemana pun, dimana pun, baik di saat sedih, sepi dan gembira. Kucing kurus yang kuberinama Siti Fatimah itu berasal dari Desa Ngayau yang masih minim pembangunan dan pemberdayaan.
Ah... apapun itu, Aku selalu berdo’a untuk mereka, para ‘Oncoy’-ku, selayaknya Aku berdo’a untuk hidupku dan orang-orang yang kukasihi. Semoga Tuhan berikan keselamatan, kesehatan, kemakmuran, kebahagiaan bagi para ‘oncoy’ yang pernah kukenal dan kusayangi.
 Tentu masih banyak kisah-kisahku bersama para Oncoy di rumahku. Dan setiap saat kisah-kisah tersebut akan bertambah dan bertambah. Eh, apakah kalian, para pembaca ingin berkenalan dengan Si Dadang yang sok tapi tukang ngambek, Jayyun yang gagah perkasa, atau dengan Yeyeu yang paling cantik, juga Acan dan Ucin, juga Ican yang senang berlarian dan menangkap cicak, kadal, kodok, hingga kecoa? Datang saja ke rumah kami. Aku dan keluargaku pasti akan senang. Syaratnya, perlakukan mereka dengan manis ya.... Sampai jumpa..!!
-Selesai-

Keterangan
1)       Sabar, pang! Nang halus mana : sabar, dong! Yang kecil mana?
2)       Berumahan : tanah di bawah rumah. Tak seperti di kota-kota besar seperti Jakarta atau Balikpapan yang berbahan baku beton atau semen, rumah-rumah di Banjarmasin kebanyakan dibuat dari kayu ulin (kayu besi) dan menyerupai rumah panggung. Sehingga terkadang ada ruang hampa di antara lantai dasar dan tanah di bawahnya. Inilah yang disebut berumahan
3)       Kesuban : kemasukan benda kecil serupa serpih kayu pada kulit tubuh bahkan masuk hingga daging tubuh. Kondisi ini dapat berakibat infeksi dan pendarahan, bahkan bila dibiarkan dapat mengakibatkan sakit yang lebih serius an berbahaya.
4)       Lintap lintup : kondisi lemas, lunglai, tanpa tenaga
5)       Bulik : pulang

Nur Ican


Nur Ican guying payak res cucer
Kegemaran dan rutinitas yang tak pernah ditinggalkan





malam tadi ican guring di atas sajadahkoe.. hehehe...