Rabu, 26 Oktober 2011

Kala Kau Tak Di Sini



By : KhoiriyyahAzzahro


Lembut angin menampar pipiku malam itu. Tapi engkau diam saja. Tepat di hadapanku, dua orang berseragam pramuka lengkap, mondar mandir.
Kulirik pergelanganku, 19.15. Lewat lima belas menit dari jadwal seharusnya. Ah, sedari awal, Aku telah sangsi. Tapi, tadi siang engkau memintaku datang malam ini. Padahal Aku sungguh sangsi bahwa akan ada latihan kepramukaan seperti minggu kemarin. Karena, tak ada satu pun kakak senior yang memberitahu. Namun, engkau yang memintaku. Memohon padaku.
“Bulan depan, usai ujian dan pengumuman evaluasi belajar, Aku akan ke Ambon, Ni!” engkau berucap lirih.
Aku diam. Angin masih sibuk menampari pipiku.
Dan Aku teringat akan pipi itu. Pipi engkau. Aku teringat kala suatu sore, pipi di wajah engkau berubah merah membiru. Serta seragam yang lusuh dan rambut acak-acakan. Dengan tubuh lunglai di atas sofa rumahmu, rumah orangtuamu.
Namun, engkau  tiada berucap sepatah kata padaku.
“Apa-apaan lagi ini? Ni, kenapa anak tante jadi begini?” perempuan yang kuperkirakan lebih tua tiga tahun dari ibuku itu, menderaku dengan pertanyaan yang seharusnya ditujukan pada engkau. Bukan padaku.
“Maaf, Tante! Setahu Saya, Nate sudah berusaha sabar dan nggak ngelawan” penuh hati-hati, kujawab pertanyaan tersebut.
Perempuan itu menarik nafas panjang.
“Mama sudah bosan melihat kamu begini, Nat! Berantem melulu. Kalau kamu terus-terusan seperti ini, mama akan segera bicarakan rencana yang dulu sama papamu”
Wajah engkau mendadak pucat menegang. Tak kuasa mengangkat tatapan yang sedari awal hanya terpaku pada karpet lembut di bawah kaki. Bahkan hingga perempuan yang kupanggil ‘tante’ itu beranjak dari tempat duduknya.
Tamparan angin pada pipiku tak lagi lembut. Engkau masih berucap lirih.
“Ni, Aku nggak mau pergi! Aku nggak mau pindah! Swear! Aku…. “
“Sudah, Nat! Aku tahu.. “, maaf terpaksa kupotong saja kalimat sia-sia itu.
“Mama-mu benar! Kamu hanya jadi bulan-bulanan di sini. Kondisimu juga nggak akan berubah. Aku sudah bilang kan?! Aku ngerti, kok!”
Ya..Tuhan! Kuharap kalimatku ini tidak menyakiti engkau, lagi…
“Di sana, sekolahnya pasti lebih bagus. Kamu bisa lebih konsen belajar. Trus.. nggak ada yang mengganggumu atau mencelakaimu… tentunya!”
Sekali lagi, kuharap kalimatku ini tak melukai engkau.
Ya.. eyaalla..ah. Secara di sana tuu.. ibu kota kalle…! Lebih fresh, getto!” centil kulontarkan kalimat itu dengan mimik wajah selucu mungkin. Hanya agar malam itu engkau tersenyum dan tertawa, Nate!
Aku tak ingin engkau tahu gundahnya hatiku kala itu. Yang kuingin, engkau lihat diriku yang cerewet, lucu, ngocol, gokil. Seperti biasa. Semua tingkahku yang –katamu- membuatmu menyukaiku.
“Tapi, Ni…”
“Nat, percaya deh! Yang namanya orangtua nggak akan pernah nyakitin anaknya. Kecuali kita yang nggak faham sikap, fikiran atau cara mereka”
Malam itu, terakhir kali ku rasa dekat dengan engkau, Nate! Sebab seminggu setelah itu kulihat engkau bukan lagi seorang yang bisa membuatku tertawa geli dengan seribu satu tingkahmu. Seperti saat engkau membujukku menemui panitia orientasi sekolah untuk menukar sepatumu yang kebesaran. Hanya karena engkau malu melakukannya sendiri, malu mengakui keegoisanmu tentang ukuran telapak kakimu (ha ha..). Atau saat engkau lagi-lagi membujukku menemanimu menemui wali kelasmu, hanya karena engkau fikir wali kelasmu itu genit dan ‘ada hati’ padamu (ha ha..).
Engkau bukan lagi seorang yang pernah membuat perasaanku terbang ke langit menengok negri kahyangan. Seperti saat pertama kali engkau ucapkan kalimat lucu tentang rasa sukamu pada diri culunku.
Seminggu setelah itu, engkau dan senyummu, diam saja di dek KM Lambuna yang kau pijak. Setelah kau jabat tanganku di detik-detik akhir labuhnya kapal besar itu, dan setelah peluit berbunyi, maka tak ada lagi tawa dan centilku.
Malam itu, terakhir kali ku rasa engkau hadir dan nyata, Nate! Dari kapal itu, engkau tatapi Aku yang terpaku menyaksikan jarak demi jarak memisahkan kita seiring laju haluan kapal yang semakin beranjak meninggalkan daratan.
Meski malam itu, kulihat jelas wajah penuh penyesalan diikuti gelengan kepala serta gerak bibir engkau yang desaunya tak mungkin terdengar dari tempatku berdiri. Namun hadir jua tetes demi tetes bening air yang mengalir dari kedua sudut mataku. Dan engkau tentu tahu apa yang berkecamuk di dadaku saat itu.
Ah, Nate! Kini tinggal kepingan saja.
Andai engkau tahu, betapa bodohnya kuhadapi hidup yang kujalani dengan merangkak, setelah engkau tak ada. Andai engkau tahu, betapa sulitnya kutersenyum apalagi tertawa. Karena engkau tiada di hariku lagi, sejak itu.
Mungkin, Aku masih menanti engkau kala itu. Kuharap hariku yang gelap, terceriakan oleh secuil kisah darimu di sana. Namun, hari… bulan… berganti, tak satu berita. Dimanakah hati itu? Jasad tubuh tentu di sana. Ambon Manise. Tapi, dimana ingatan akan diriku kau letakkan? Mengapa pula bayang engkau kian pudar di hariku?
Tahukah engkau, suatu hari yang terik, Aku menangis dalam sanubari. Panas mentari di atas pantai hitam Gambesi memanggang wajah dan tubuhku yang semakin coklat. Topi tikar pramuka, kacu merah putih di leher serta rok coklat kedodoranku ikut terpanggang.
Yuuk… tebakan selanjutnya. Kamu pilih mana, Dek? Mau dikasih mobil carry butut atau pesawat terbang?” tanyanya.
Aku saling pandang dengan Aleyda yang duduk manis bersamaku di atas tikar pandan.
“Ya.. pesawat terbang dong, Kak!” jawab kami bersamaan.
“Wah.. kalau Saya sih mending mobil carry. Biar pun butut, bisa disetir sendiri”, elaknya.
“Lho?”
“Iya! Soalnya, pesawatnya gak ada baling-balingnya”
“Ha.. ha.. ha..” Aku tertawa.
Tahukah engkau, Nate? Hari itu, deras angin pantai menampar wajah dan pipiku. Namun, Aku tertawa! Dan dalam sadarku, hadir pendar bahagia yang berbeda di hati.
Dan tahukah engkau, suatu hari Aku mendaki puncak sendiri. Kala seluruh peserta hiking ditemani pemandu. Namun, Aku mendaki sendiri. Kabut menghalangi pandanganku dan putus asa kehilangan jejak hampir menderaku.
“Ayo, Ni! Sedikit lagi!” bariton-nya yang khas, menggema tiba-tiba dari atas puncak.
Kutatap tanah basah curam dan kabut tipis di hadapan. Kudaki sendiri terjalnya tanpa sebilah tongkat dan melepas kacamata yang berembun. Dan kala tiba di puncak, kudapati senyumnya rekah di hatiku.
Kesanku kerlip kembali, kala Ia petik buah pala khas Maluku yang asam manis kecut dari pohon tinggi di puncak nan dingin itu, untukku.
Tahukah engkau? Suatu malam temaram, ternyata Ia saja yang bertanya “Kenapa?”, ”Ada apa?” padaku. Kala hampir semua orang menimpakan tuduhan atas kesalahan yang tak pernah kulakukan. Kala kurasa naifnya diriku yang dipecundangi tanpa kesempatan membela diri. Namun, Ia saja yang mau mendengar keluh kesahku yang dihimpit kepedihan saat itu.
“Kalau ada apa-apa, ngomong ke kakak, ya!” Berulang kali kalimat itu dititipkannya padaku. Hingga, Aku rasa mampu hadapi apa pun yang terbentang di hari esokku. Ntah mengapa?!
Maka, kulipat saja surat engkau yang penuh kalimat rindu, juga tanya tentang masih adakah rasaku pada engkau. Kusimpan saja foto manis engkau yang berseragam sekolah itu. Kuselipkan diantara buku diary manis bertuliskan namamu.
Maafkan Aku, Nate! Jangan tanya lagi perasaanku pada engkau. Tanya saja hati engkau terlebih dahulu. Kemana saja rasa engkau selama sembilan bulan itu?
Dan jangan paksa Aku untuk menulis kata-kata indah pada surat balasanku. Karena kini bagiku, semua kebersamaan kita dimasa lalu yang engkau ceritakan kembali dalam surat itu, telah menjadi kepingan, belaka…  Tak utuh dan padu.
Maka, kuterpaku saja, kala tiba-tiba sapa engkau memasuki pendengaranku melalui loudspeaker ponsel mungilku. Kutergugu saja, kala tiba-tiba suara engkau kabarkan kini dirimu telah di kota ini, Ternate. Kutermangu saja, kala tiba-tiba ucap engkau katakan rindu dan ingin jumpa aku.
Jangan paksa Aku untuk tersenyum dan bersorak. Karena semenjak malam kala angin menampar pipiku dan engkau berucap kita akan berjauhan, sesungguhnya ku tlah relakan itu, Nate! Meski berkali-kali engkau tegaskan tak inginkan itu.
Dan semenjak malam kala kurasa terakhir kali engkau hadir dan nyata, sesungguhnya ku tlah coba lepaskan ikatan hatiku padamu, Nate! Meski susah payah dan tanpa tawa di hari-hariku setelah itu.
Maka, kumohon maafkan Aku, Nate! Sebab, Aku bukan gadis yang tepat ‘tuk engkau bawa ke kahyanganmu. Bukan perempuan yang bisa membuat hatimu, pipimu, mamamu… bahagia. Dan engkau bukan lelaki yang bisa membuatku bercahaya dan tertawa…  selalu.
Lembut angin menampar pipiku malam itu. Dan Ia duduk di sisiku. Ia yang selalu buatku tertawa. Ia yang tiba-tiba bertanya, “Kenapa? Dingin ya? Sini, Kakak tiup tangannya!”
Dan, mohon maafkan Aku, Nate! Ponselku berdering. Tertera nomer dan nama engkau di sana. Maaf! Ku reject saja! Karena ku sedang ingin dengar semua ceritanya saja, ocehnya saja, leluconnya saja. Ku sedang ingin menikmati rasa dan mendekap asa, bersamanya saja.
“Nah, ada kisah lagi. Suatu saat…” Ia masih mengoceh.
Kini, meski tamparan angin di pipiku tak lagi lembut malam itu, ku tak mau beranjak dari sisinya. Dari Ia, kakak special-ku. Bayu!
Banjarmasin, 23rd-26th June 2008
Kak, Terimakasih untuk segalanya!
Telah dimuat pada Majalah KaWanku edisi Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar